Tuesday, May 4, 2010

Raksasa pemakan daging yang menjadi Sadar [Alavaka]



Alavaka, yang tinggal di dekat kota Alavi, adalah pemakan daging manusia. Karena begitu galak, berkuasa, dan liciknya maka ia dikenal sebagai `si Raksasa'. Suatu hari, raja negeri Alavi pergi berburu rusa di hutan dan ia ditangkap oleh Alavaka. Sang Raja memohon agar ia dilepaskan, tetapi sebagai ganti dari kebebasannya itu ia harus mengirim satu orang setiap hari ke hutan sebagai persembahan untuk Alavaka.

Setiap hari seorang tahanan dikirim ke dalam hutan dengan membawa sepiring nasi. Dikatakan bahwa untuk mendapatkan kebebasannya, tahanan itu harus pergi ke pohon tertentu, menaruh nasi di sana dan kemudian dia dapat bebas. Pada mulanya banyak tahanan yang dengan sukarela melaksanakan tugas yang `sederhana' itu. Tetapi setelah waktu berlalu dan tak seorang pun yang kembali untuk menceritakan apa yang telah terjadi kepada tahanan lainnya, para tahanan harus dipaksa setiap hari untuk pergi ke hutan.

Segera saja penjara menjadi kosong. Bagaimana sekarang cara raja memenuhi janjinya untuk mengirimkan seorang manusia setiap hari untuk santapan raksasa tersebut? Para menteri mengusulkan kepada raja agar meletakkan bungkusan-bungkusan yang berisi emas di jalanan. Mereka yang ditemukan mengambil bungkusan tersebut akan ditangkap sebagai pencuri dan dikirim kepada Alavaka. Lama-kelamaan, tak seorang pun berani mengambil bungkusan-bungkusan itu. Akhirnya usaha terakhirnya adalah raja mulai menangkap anak-anak untuk dijadikan persembahan. Permasalahan yang menakutkan ini menyebabkan kota tersebut menjadi sepi. Akhirnya hanya tinggal satu orang anak laki-laki-dan ia adalah putra sang Raja. Dengan berat hati, sang Raja memerintahkan agar sang Pangeran dikirim ke Alavaka keesokan paginya.

Hari itu, Sang Buddha kebetulan berada di dekat kota itu. Ketika Beliau memantau dunia ini dengan mata batinNya pagi itu, Beliau melihat apa yang sedang terjadi. Karena rasa belas-kasihNya kepada sang Raja, sang Pangeran, dan Alavaka. Sang Buddha seharian melakukan perjalanan untuk pergi ke goa tempat raksasa tersebut dan pada malam harinya Beliau tiba di pintu gerbang goa tersebut.

Si Raksasa sedang pergi ke gunung, dan Sang Buddha menanyakan penjaga gerbang apakah Beliau dapat bermalam di goa itu. Ketika penjaga gerbang pergi untuk memberitahukan tuannya tentang permintaan ini, Sang Buddha masuk ke dalam goa, duduk di tempat duduk si Raksasa dan membabarkan Dhamma kepada para istri raksasa tersebut.

Ketika si Raksasa mendengar apa yang telah terjadi dari pembantunya, dia segera pulang ke rumah dengan sangat marah. Dengan kekuatan maha dasyatnya, dia menciptakan badai yang hebat dengan goncangan dan petir di hutan itu disertai guntur, kilat, angin, dan hujan. Tetapi Sang Buddha tidak takut. Alavaka kemudian menyerang Sang Buddha dengan melempar tombaknya menghantam Sang Buddha, tetapi sebelum senjata itu dapat menyentuh Beliau, tombak-tombak itu jatuh di dekat kaki Sang Buddha. Karena tidak dapat menakut-nakuti Sang Buddha, Alavaka bertanya:

"Benarkah tindakan Anda, seorang manusia suci, masuk dan duduk di antara para istri pemilik rumah ketika pemiliknya sedang tidak di tempat?" Sang Buddha lalu bangkit dan akan meninggalkan goa itu.

Alavaka berpikir, "Betapa bodohnya saya membuang-buang tenaga dengan mencoba menakut-nakuti pertapa ini". Karena itu dia meminta Sang Buddha masuk ke dalam goa lagi. Si Raksasa memerintahkan Sang Buddha tiga kali untuk keluar dari goa dan tiga kali untuk masuk ke dalam goa dengan harapan dia dapat membunuh Sang Buddha akibat kelelahan. Setiap kali, Sang Buddha melakukan apa yang diperintahkan oleh si Raksasa. Tapi ketika si Raksasa memerintahkan Sang Buddha untuk meninggalkan goa tersebut untuk keempat kalinya, Sang Buddha menolak melakukannya dan berkata, "Saya tidak akan mematuhi perintahmu, Alavaka. Lakukan apa saja yang dapat kamu lakukan tapi Saya akan tetap tinggal di sini".

Karena tidak sanggup memaksa Sang Buddha melakukan apa yang diinginkan, Alavaka mengubah taktiknya dan berkata, "Saya akan menanyaimu beberapa pertanyaan. Jika engkau tidak dapat menjawabnya saya akan mengoyak jantungmu, membunuhmu, dan melemparkanmu ke seberang sungai".

Sang Buddha berkata kepadanya dengan tenang, Tak ada seorang pun, Alavaka, apakah ia seorang manusia atau dewa, pertapa, brahma atau brahmana, yang dapat melakukan hal itu terhadapKu. Tetapi jika engkau ingin menanyakan sesuatu, silakan lakukan". Alavaka menanyakan beberapa pertanyaan yang dia pelajari dari orangtuanya yang juga mendapatkannya secara turun-temurun. Dia telah lupa pada jawabannya, tetapi dia harus melestarikan jawaban-jawaban tersebut dengan menuliskannya di atas daun emas.

Pertanyaan tersebut adalah: "Apakah kekayaan terbesar bagi seorang manusia? Apakah yang dapat memberikan kebahagiaan tertinggi ketika seseorang menguasainya dengan baik? Apakah rasa termanis dari semua rasa? Jalan kehidupan mana yang terbaik?

Sang Buddha menjawab: "Kekayaan terbesar bagi seorang manusia adalah keyakinan. Doktrin/ajaran yang benar bila dikuasai dengan baik akan memberikan kebahagiaan tertinggi. Rasa yang paling manis adalah rasa kebenaran. Hidup yang bijaksana adalah cara hidup yang sepatutnya".

Alavaka menanyakan beberapa pertanyaan lagi yang semuanya dijawab oleh Sang Buddha. Pertanyaan yang terakhir adalah: "Ketika meninggalkan dunia ini untuk menuju ke dunia/alam berikutnya, bagaimana agar seseorang itu tidak bersedih?" Jawaban Sang Buddha adalah: "Ia yang memiliki empat kebajikan ini -kebenaran, moral yang baik, keberanian, dan kemurahan hati-maka kesedihan tidak akan ada ketika ia harus meninggal dunia". Karena mengerti arti dari kata-kata Sang Buddha, Alavaka berkata, "Sekarang saya tahu apa rahasia dari kesejahteraan masa depanku. Adalah demi kesejahteraan dan kebaikan diriku, Sang Buddha datang ke Alavi".

Alavaka bersujud kepada Sang Buddha dan memohon agar ia diterima sebagai murid. Keesokan paginya ketika para petugas kerajaan Alavi datang bersama dengan putra raja, mereka terpana melihat pemandangan dimana Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada Alavaka yang mendengarkan khotbah itu dengan penuh perhatian. Ketika anak itu dituntun ke arah Alavaka, Alavaka merasa malu pada dirinya sendiri untuk menerima anak itu sebagai persembahan raja. Dan sebaliknya dia membelai kepala anak itu, menciumnya dan menuntunnya kembali kepada para petugas. Setelah itu Sang Buddha memberkati anak itu dan Alavaka.

Tentu saja, perubahan dari Alavaka sang pemakan daging manusia, menunjukkan bagaimana Sang Buddha, dengan kebijaksanaan dan welas-asihNya yang besar, dapat menjinakkan makhluk yang ganas serta mengubahnya menjadi murid yang lembut.
Read rest of entry

Anak-Anak Pengikut Aliran Sesat mengunjungi Sang Buddha



Pada suatu ketika, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihara Jetavana, Savatthi, terdapat beberapa orang tua yang menjadi pengikut aliran yang sesat. Ketika mereka melihat anak-anak mereka bermain-main dengan anak-anak yang orang tuanya pengikut Sang Buddha, mereka marah dan tidak senang. Setelah anak-anak itu selesai bermain dan pulang ke rumah, mereka segera memarahi anak-anaknya :
"Mulai sekarang, kalau kamu bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu pengikut Pangeran Sakya, kamu tidak usah memberi hormat, dan tidak boleh memasuki pertapaan mereka". 

Anak-anaknya disuruh bersumpah, harus mentaati apa yang mereka katakan.
Pada suatu hari, anak-anak pengikut aliran sesat itu sedang bermain-main di luar Vihara Jetavana, tempat Sang Buddha berdiam. Mereka bermain-main di depan pintu gerbang Vihara, setelah lelah bermain, mereka merasa amat haus dan ingin minum. mereka lalu menyuruh salah seorang temannya masuk ke dalam Vihara :
"Kamu masuk dulu ke dalam, mintalah air minum dan bawakan juga untuk kami".

Salah seorang anak laki-laki itu masuk ke Vihara, dan bertemu dengan Sang Buddha. Setelah memberi hormat, ia bercerita bahwa mereka sedang bermain-main di depan Vihara dan sekarang merasa haus, ingin minta air minum. Sang Buddha berkata : "Kamu boleh minum air di sini, kalau sudah minum, kembalilah ke teman-temanmu, ajaklah mereka minum di sini".

Kemudian semua anak-anak itu masuk ke dalam Vihara untuk minum. Selesai minum, Sang Buddha mengumpulkan mereka, dan mengajarkan Hukum Alam Semesta dengan kata-kata yang mudah mereka pahami. Akhirnya mereka mengerti dan menjadi murid Sang Buddha.

Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, dan bercerita kepada orang tua mereka tentang Ajaran Sang Buddha. Beberapa orang tua yang menganut pandangan sesat itu bersedih hati dan menangis: "Anak kami telah manganut pandangan sesat". 

Tetapi ada beberapa orang tua yang pandai dan mengerti Ajaran Sang Buddha. Ketika menyadari kekeliruannya, mereka mendatangi orang tua yang keliru itu dan menjelaskan Ajaran Sang Buddha. Akhirnya mereka semua mengerti akan Dhamma yang Sang Buddha ajarkan, mereka berkata: "Kami akan menyuruh anak-anak kami melayani Sang Guru Agung kita"

Bersama dengan keluarga masing-masing, mereka berbondong-bondong mengunjungi Sang Buddha. Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran mereka sudah berubah, segera menerangkan kembali AjaranNya kepada mereka. Sang Buddha mengucapkan syair:

"Mereka yang menganggap tercela terhadap apa yang sebenarnya tidak tercela dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang sebenarnya tercela, maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara".

(Dhammapada, Niraya Vagga no. 13)

"Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela, dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tercela, maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk ke alam bahagia".

(Dhammapada, Niraya Vagga no. 14)
Read rest of entry

Sikap Sang Buddha terhadap Guru-guru agama lain [Upali]


Upali, seorang jutawan, adalah salah seorang murid terbaik dari guru agama lain yang bernama Nigantha Nathaputta, yang ajarannya berbeda dengan ajaran Sang buddha. Karena sangat mahir dalam hal berdebat, Upali di minta oleh guru agamanya untuk mendekati Sang Buddha dan mengalahkan Beliau dengan pokok-pokok tertentu tentang Hukum sebab-Akibat (Kamma-vipaka). Setelah melewati diskusi yang panjang, Sang Buddha mampu meyakinkan Upali bahwa pandangan-pandangan dari guru agamanya adalah keliru.


Upali sangat terkesan dengan ajaran Sang Buddha sehingga ia langsung meminta untuk di terima sebagai pengikut Sang Buddha. Ia tercengang ketika Sang Buddha menasihatinya,"Upali, engkau adalah orang yang terkenal. yakinlah benar-benar bahwa engkau tidak mengubah agama/kepercayaanmu hanya karena engkau senang kepada Tathagata atau karena engkau sedang dalam pengaruh emosi/perasaanmu. Periksalah sepenuhnya ajaran Tathagata dengan pikiran terbuka sebelum engkau memutuskan untuk menjadi pengikut Tathagata".

Dengan semangat pemeriksaan yang bebas terhadap ajaran Sang Buddha, upali bahkan semakin senang dan ia berkata,"Yang Mulia, adalah sangay menakjubkan bahwasannya Anda meminta saya untuk mempertimbangkannya dengan hati-hati. Jika itu adalah guru-guru yang lain, mereka akan segera menerimaku dengan tanpa ragu-ragu, membawaku berkeliling di jalan-jalan dalam suatu prosesi dan mengumumkan bahwa seorang jutawan yang demikian-demikian telah meninggalkan agama/kepercayaan lamanya dan sekarang memeluk ajaran mereka. Ya, benar-benar, Yang Mulia, sudilah menerima saya sebagai pengikutMu".

Sang Buddha akhirnya setuju menerima Upali sebagai pengikut awamNya tetapi dengan menasehatinya demikian,"Meskipun engkau sekarang telah menjadi pengikutKu, Upali, engkau harus mempraktikkan toleransi dan rasa welas-asih. Teruslah memberi dana kepada guru-guru agama terdahulumu, karena mereka masih amat tergantung pada tunjanganmu. engkau tidak boleh mengabaikan mereka dan menghentikan tunjangan yang biasanya engkau berikan kepada mereka".

Nasihat Sang Buddha tentang toleransi, pemeriksaan yang bebas (terhadap ajaranNya) dan tidak menerima ajaranNya karena alasan-alasan emosi/perasaan, telah memberikan catatan yang bersih dalam sejarah penyebaran agama Buddha. Tidak pernah ada penganut-penganut fanatik agama Buddha yang memaksa orang-orang untuk menerima agama ini dengan menyiksa atau menakut-nakuti mereka dengan ganjaran hukuman. Agama Buddha mampu menyebar dalam cara yang damai, sebagian besar adalah karena keindahannya dan kemauan baik yang terkandung di dalamnya
Read rest of entry

Sang Buddha Memberi Makan Orang Kelaparan

RENUNGAN CERITA : Sang Buddha Memberi Makan Orang Kelaparan

Pada suatu hari ketika Sang Buddha sedang duduk bermeditasi di Vihara Jetavana, dengan Mata Buddha-Nya, Sang Buddha melihat seorang laki-laki yang amat miskin tinggal di Alavi. Sang Buddha mengetahui bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk mencapai tingkat kesucian. Sang Buddha ingin membantu orang itu, lalu bersama dengan lima ratus orang muridnya, Sang Buddha melakukan perjalanan menuju Alavi.

Penduduk Alavi setelah mengetahui kedatangan Sang Buddha, segera mengundang Sang Guru Agung menjadi tamu mereka. Ketika orang miskin itu mendengar kedatangan Sang Buddha, ia ingin sekali bertemu dengan Sang Buddha dan mendengar Ajarannya. Tetapi, pada hari itu seekor lembunya tersesat. Ia bimbang,
"Apakah saya mencari lembu yang hilang itu ataukah saya pergi menemui Sang Buddha untuk mendengarkan AjaranNya?".
Akhirnya ia memutuskan:
"Pertama-tama saya akan mencari lembu yang hilang itu terlebih dahulu, kemudian saya akan pergi menemui Sang Buddha".

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke hutan untuk mencari lembunya yang tersesat. Penduduk desa Alavi mempersilahkan Sang Buddha beserta murid-muridnya untuk duduk di tempat yang telah mereka persiapkan, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya dengan penuh hormat. Sesudah makan, Sang Buddha biasanya mengucapkan terima kasih dengan membacakan Paritta Pemberkahan, tetapi kali ini Sang Buddha berkata:

"Ia yang menyebabkanKu datang ke sini bersama para bhikkhu sedang pergi ke hutan mencari lembunya yang hilang. Kita tunggu sampai dia kembali, setelah ia datang Aku akan membabarkan Dhamma". Kemudian Sang Buddha duduk diam. Orang miskin itu setelah menemukan lembunya yang tersesat, segera menggiring lembunya kembali ke kandang. Ia lalu berpikir: "Kalau tidak ada apa-apa lagi, saya harus segera pergi mengunjungi dan memberikan hormat kepada Sang Buddha".

Dengan menahan rasa lapar yang amat sangat, ia segera pergi menemui Sang Buddha.
Setelah orang itu bernamaskara di hadapan Sang Buddha, ia lalu duduk diam-diam di salah satu sisi. Sang Buddha setelah melihat orang itu datang, segera berkata kepada orang yang melayaninya:
"Apakah masih ada makanan?".
"Masih ada Yang Mulia, masih banyak makanan".
"Berikanlah makanan kepada orang ini".

Kemudian orang itu diberikan bubur dan makanan lainnya. Setelah selesai makan, ia mencuci mulutnya lalu duduk dengan tenang. Kemudian Sang Buddha membabarkan Dhamma, menjelaskan Empat Kesunyataan Mulia. Pada akhir khotbah, orang itu mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Setelah Sang Buddha selesai membabarkan Dhamma, Beliau lalu membacakan Paritta Pemberkahan dan segera meninggalkan desa itu. 

Di perjalanan, para bhikkhu menyatakan keheranannya dengan apa yang Sang Buddha lakukan pada hari ini, mereka berkata: "Saudaraku, Guru kita belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Tetapi melihat orang itu kelaparan, Sang Guru meminta penduduk desa menyediakan makanan untuknya".
Sang Buddha segera berhenti berjalan, berbalik dan bertanya:
"O, para bhikkhu, apa yang kalian bicarakan?".
Setelah Sang Buddha mendengar apa yang mereka bicarakan, Beliau berkata:
"O, para bhikkhu, kedatanganKu kemari dengan melalui perjalanan yang berat dan jauh ini adalah karena Aku melihat orang itu mempunyai kemampuan untuk mencapai Tingkat Kesucian. Pagi-pagi sekali dengan menahan lapar, ia ke hutan mencari lembunya yang hilang. Jadi kalau Aku membabarkan AjaranKu kepada orang yang perutnya lapar, ia tidak akan dapat mengerti apa yang Kuajarkan. Karena itu Aku melakukan apa yang harus Kulakukan. O, para bhikkhu, kelaparan adalah penyakit yang paling berat".
Sang Buddha lalu mengucapkan syair:

"Kelaparan merupakan penyakit yang paling berat. Segala sesuatu yang berkondisi merupakan penderitaan yang paling besar. Setelah mengetahui hal ini sebagaimana adanya, orang bijaksana memahami bahwa Nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi"

(Dhammapada, Sukha Vagga no. 7)
Read rest of entry

Sesudah Badai Berlalu ..... Tenang

RENUNGAN CERITA : Sesudah Badai Berlalu ..... Tenang

Ketika itu Sang Buddha sedang bersemayam di Savatthi. Disana tinggal seorang ibu yang sering dipanggil dengan Kanamata atau ibu Kana. Ibu ini pengikut setia Sang Buddha, ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Kana. Anak perempuannya ini sudah menikah dengan seorang laki-laki dari lain desa. Pada suatu waktu, Kana datang menengok ibunya. 

Beberapa hari kemudian suaminya mengirim pesan, supaya istrinya segera pulang ke rumah. Ibunya berkata :
"Tunggulah sampai esok hari", karena ia ingin membuat kue-kue untuk menantunya.
Keesokkan harinya, Ibu Kana membuat kue, tetapi pagi itu lewat empat bhikkhu di depan pintu rumahnya untuk pindapatta. Ibu Kana lalu memberikan kue-kue itu kepada keempat bhikkhu itu. Keempat bhikkhu yang sudah menerima kue, bercerita kepada bhikkhu lainnya bahwa kue dari Ibu Kana enak sekali.

Jadi, para bhikkhu yang lain juga berpindapatta kesana. Ibu Kana sebagai pengikut setia Sang Buddha, memberikan kue-kue yang dimasaknya. Akhirnya kue itu habis, tidak ada lagi yang tersisa untuk dibawa pulang anak perempuannya, Kana tidak jadi pulang ke rumahnya pada hari itu.

Hari berikutnya, hal yang sama terjadi lagi, Ibu Kana membuat kue-kue, dan para bhikkhu berpindapatta lagi ke rumahnya, dan Ibu Kana memberikan kue-kuenya, akhirnya kue yang dimasaknya itu habis lagi, dan anak perempuannya tidak jadi pulang lagi. Pada hari ketiga, suami Kana mengirimkan pesan apabila pada hari itu Kana tidak pulang ke rumah, ia akan mencari isteri lagi. Tetapi pada hari ketiga Kana tetap tidak bisa pulang karena kue yang dimasak ibunya habis lagi sebab para bhikkhu pada hari itu berpindapatta ke rumah ibunya.
Kemudian suami Kana yang menunggu istrinya tidak pulang-pulang, mengambil istri lagi. Kana menjadi amat marah kepada para bhikkhu. 

"Bhikkhu-bhikkhu ini telah menghancurkan rumah tanggaku."
Sejak saat itu apabila ia bertemu dengan para bhikkhu, ia selalu mencaci maki dan berlaku kasar. Akibatnya para bhikkhu tidak berani melalui jalan di depan rumah Ibu Kana lagi. Sang Buddha yang mengetahui hal itu, lalu pergi ke rumah Ibu Kana. Ibu Kana segera menyambut kedatangan Sang Buddha dan mempersilahkan Sang Guru Agung untuk duduk. Setelah memberikan hormat, ia lalu mempersembahkan bubur dan makanan-makanan lainnya. Selesai makan, Sang Buddha bertanya kepada Ibu Kana :
"Mana Kana?"
"Yang Mulia, ketika ia melihat Yang Mulia, ia merasa susah dan sekarang menangis."
"Apa alasannya?"
"Yang Mulia, ia telah mencaci dan berlaku kasar kepada para bhikkhu. Jadi ketika ia melihat Yang Mulia datang kesini, ia merasa amat susah dan sekarang ia menangis."
Sang Guru Agung memanggil Kana dan bertanya :
"Kana, mengapa ketika kamu melihatKu, kamu menjadi susah dan menyembunyikan diri sambil menangis?"

Kemudian ibunya menceritakan apa yang telah terjadi kepada Sang Buddha. Sang Buddha lalu berkata :
"Ibu Kana, apakah kamu memberikan kepada murid-muridKu apa-apa yang mereka terima, atau tidak?"
"Saya memberikan kepada mereka apa-apa yang mereka terima, Yang Mulia."
"Apabila murid-muridKu mendatangi rumahmu ketika mereka berpindapatta dan menerima dana yang kamu berikan, apakah murid-muridKu melakukan kesalahan?"
"Tidak, Yang Mulia, mereka tidak melakukan kesalahan, Kana sendiri yang bersalah."
Sang Buddha kembali bertanya kepada Kana :
"Kana, saya mengetahui murid-muridKu mendatangi rumahmu ketika mereka berpindapatta dan ibumu memberikan kue-kue kepada mereka, apakah murid-muridKu melakukan kesalahan?"
"Mereka tidak bersalah Yang Mulia, saya sendiri yang bersalah."

Setelah Kana menyadari kesalahannya, ia lalu memberikan hormatnya, dan mohon maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Sang Buddha lalu memberikan nasehat dan mengajarkan Dhamma kepada Kana. Pada akhir khotbah, Kana mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapanna). Sang Buddha lalu bangun dari tempat duduk, dan pulang kembali ke Vihara Jetavana.
 
Dalam perjalanan pulang menuju ke Vihara Jetavana, seorang Raja melihat Sang Buddha sedang berjalan melewati Istananya, Raja kemudian bertanya kepada pembantunya :
"Bukankah itu Sang Buddha?"
"Ya betul, Yang Mulia."
Lalu Raja itu mengirimkan salah satu pembantu utamanya untuk mengundang Sang Buddha mampir ke istananya : "Katakan kepada Sang Guru Agung, saya ingin menyampaikan hormat saya kepadaNya."
Ketika Sang Buddha tiba di istana, Raja menyambutnya, memberi hormat dan berkata :
"Yang Mulia, dari manakah Anda?"
"Saya baru saja dari rumah Ibu Kana, Yang Mulia Raja."
"Mengapa Anda pergi kesana, Yang Mulia?"
"Saya mendapat informasi Kana mencaci maki dan berlaku kasar terhadap para bhikkhu, karena itulah Saya pergi ke sana."
"Dapatkah Anda hentikan kemarahannya, Yang Mulia?"
"Tentu saja Yang Mulia Raja, ia sudah menghentikan kemarahannya, kini ia telah menjadi pemilik dari kekayaan yang melebihi kekayaan duniawi."
"Oh, luar biasa Yang Mulia, Anda telah membuatnya menjadi pemilik kekayaan yang melebihi kekayaan dunia, saya ingin membuatnya menjadi pemilik kekayaan di dunia ini."
 
Setelah Raja memberikan hormatnya kepada Sang Buddha, lalu Sang Buddha melanjutkan perjalanan menuju ke Vihara Jetavana. Sang Raja lalu mengirim kereta kencana yang sangat indah ke rumah Kana, mengundangnya untuk datang, dan menganggap Kana sebagai anaknya sendiri. Ia lalu mengumumkan :
"Siapakah yang ingin mengambil Kana, anak perempuanku ini?"
Ada seorang bijaksana yang kaya raya, yang mempunyai segalanya, menjawab :
"Yang Mulia, saya ingin mengambil anak perempuanmu itu."
Setelah berkata demikian, ia lalu membawa pulang Kana, memberikan semua kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya kepada Kana dan berkata :  "Anakku, lakukanlah perbuatan baik sesuai dengan keinginanmu."

Sejak itu Kana selalu berdana kepada semua bhikkhu yang datang untuk berpindapatta di ke empat pintu rumahnya. Ia lalu mencari bhikkhu yang lebih banyak lagi, karena ia ingin berdana lebih banyak lagi tetapi ia gagal menemukannya. Persediaan makanannya bertumpuk, baik makanan keras maupun lembut, selalu tersedia di rumah dan makanan itu mengalir keluar dari rumahnya seperti air bah saja.
Para bhikkhu lalu membicarakan kejadian ini di salah satu ruangan vihara. 

"Beberapa waktu yang lalu, saudara, empat saudara kita melukai perasaan Kana. Tetapi Kana yang meskipun merasa terluka, ia mendapat berkah dan perlindungan langsung dari Sang Guru sendiri. Sang Guru telah membuat pintu rumahnya amat berharga untuk para bhikkhu yang datang. Sekarang ia tidak dapat menemukan bhikkhu atau bhikkhuni yang lebih banyak untuk dilayaninya. Oh, sungguh luar biasa kekuatan Guru Agung kita ini!" Sang Buddha lalu datang dan mengucapkan syair :

"Bagaikan danau yang dalam, airnya jernih dan tenang, demikian pula bathin para bijaksana menjadi tenteram karena mendengarkan Dhamma."
(Dhammapada, Pandita Vagga no. 7)
Read rest of entry

Pertengkaran Antar Suku Sakya dan Suku Koliya


Pada suatu waktu, ketika Sang Buddha sedang berdiam di antara Suku Sakya, Beliau menghentikan pertengkaran antara dua sanak keluargaNya, yaitu Suku Sakya dan Suku Koliya.

Cerita ini dimulai ketika Suku Koliya dan Suku Sakya memperebutkan air Sungai Rohini, yang digunakan untuk mengairi ladang-ladang mereka. Air sungai ini dibendung dalam sebuah dam atau waduk yang dibangun di antara kedua kota, yaitu kota Kapilavastu dan kota Koliya.

Waktu itu Bulan Jettamula, kedua suku itu sedang menuai hasil ladang mereka. Banyak pekerja harian dikerahkan untuk menuai hasil tanaman mereka. Ketika mereka sedang menuai panen di tepi sungai itu, penduduk Koliya yang sedang bekerja, berkata: "Apabila air sungai ini dibagi dua, tentu saja tidak cukup untuk mengairi ladang-ladang kita. Sedangkan ladang-ladang kita ini menggunakan sistem pengairan tunggal. Seharusnya, kitalah yang menguasai air sungai ini."

Penduduk Suku Sakya yang mendengar kata-kata mereka, lalu menjawab : "Hai, kalian jangan berkata begitu! Ladang-ladang kami juga menggunakan sistem pengairan tunggal, seharusnya kamilah yang memiliki air sungai ini." 

"Enak saja! Kami tidak akan berikan air sungai ini kepadamu!"
Lama kelamaan, pembicaraan mereka makin sengit, saling mengejek dan menjelek-jelekkan pihak lainnya sehingga timbul pertengkaran, mereka mulai saling memukul. Pekerja-pekerja yang lain mulai saling menyerang, akhirnya menjadi pertengkaran besar. Pertengkaran itu menjadi semakin buruk, karena mereka saling mengejek dan menjelek-jelekkan pihak lainnya.

Pekerja-pekerja suku Koliya berkata :
"Hai, penderita kusta! Bawa anak dan istrimu pergi dari sini! Kami tidak mau dirugikan oleh gajah, kuda dan senjata-senjata yang dimiliki orang-orang buangan miskin seperti kalian ini, yang hidup hanya di bawah pohon Jujube seperti binatang!"
 
Karena pertengkaran semakin sengit, akhirnya masing-masing pihak lalu melaporkan pertengkaran ini kepada pimpinan mereka, yang melaporkan lagi ke atasannya. Dan seterusnya sampai akhirnya laporan pertengkaran ini sampai ke istana Raja. Kedua pihak kerajaan ini segera menyiapkan bala tentara perangnya untuk menyerang pihak lainnya. Dengan segera Suku Sakya yang datang bersama bala tentaranya berteriak :
 
"Hai, orang-orang Koliya, kami akan tunjukkan kekuatan dan kekuasaan kami, yang kalian katakan kami tinggal bersama dengan saudara perempuan kami."
Bala tentara Suku Koliya yang datang juga berteriak :
"Hai, orang-orang Sakya! Kami tidak takut! Akan kami tunjukkan kekuatan dan kekuasaan kami, meskipun kami hidup miskin di bawah pohon Jujube."

Ketika itu Sang Buddha melihat dengan Mata BuddhaNya, mengetahui bahwa kedua sanak saudara itu ingin berperang. Beliau berpikir :  "Kalau Aku tidak pergi kepada mereka, mereka akan saling menghancurkan. Adalah tugasKu untuk menghentikan pertempuran mereka."

Sang Buddha dengan kekuatan kesaktiannya, terbang di udara menuju tempat di mana kedua sanak keluargaNya akan bertempur. Beliau lalu duduk dengan posisi meditasi, mengambang di udara di tengah-tengah Sungai Rohini. Ketika Raja dari kedua pihak itu melihat Sang Buddha berada di udara, di tengah-tengah Sungai Rohini, dengan segera mereka membuang senjatanya dan langsung bernamaskara pada Sang Buddha, diikuti oleh seluruh bala tentaranya.

Sang Buddha bertanya :
"Apa yang kalian pertengkarkan, O Raja Mulia?"
"Kami tidak tahu, Yang Mulia."
"Siapa yang tahu?"
"Pemimpin tentara mungkin tahu."
Pemimpin tentara kemudian berkata :
"Raja Muda mungkin tahu."

Sang Buddha bertanya pada pimpinan dari kedua pihak itu, satu demi satu, akhirnya sampailah kepada pekerja harian. Pekerja harian itu menjawab :
"Pertengkaran ini hanya karena air sungai Rohini, Yang Mulia."
Kemudian Sang Buddha bertanya pada kedua Raja itu :
"Berapakah nilai air sungai itu, Raja Mulia?"
"Sangat kecil nilainya, Yang Mulia."
"Berapa besarkah nilai Khattiya (Negeri) ini, Raja Mulia?"
"Khattiya ini tidak ternilai, Yang Mulia."
"Bukanlah hal yang baik dan pantas apabila hanya karena air yang sedikit ini kalian menghancurkan Khattiya yang tidak ternilai ini."

Kedua pihak itu diam seribu bahasa. Sang Buddha berkata lagi :
"O, Raja Mulia, mengapa kalian bertindak seperti ini? Apabila saya tidak ada di sini sekarang, kalian akan bertempur, membuat sungai ini berlimbah darah. Kalian tidak pantas bertindak demikian. Kalian hidup bermusuhan, menuruti hati yang diliputi lima jenis nafsu kebencian. Saya hidup bebas dari kebencian. Kalian hidup menderita karena sakit yang disebabkan oleh nafsu kejahatan. Saya hidup bebas dari penyakit. Kalian hidup dipenuhi keinginan, dengan memuaskan lima jenis hawa nafsu keserakahan. Saya hidup bebas dari segala nafsu keserakahan." Setelah bersabda demikian, Sang Buddha mengucapkan syair-syair ini :

"Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci, di antara orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci."
(Dhammapada, Sukha Vagga no. 1)

"Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa penyakit di antara orang-orang yang berpenyakit, di antara orang-orang yang berpenyakit kita hidup tanpa penyakit."
(Dhammapada, Sukha Vagga no. 2)

"Sungguh bahagia kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah, di antara orang-orang yang serakah kita hidup tanpa keserakahan."
(Dhammapada, Sukha Vagga no. 3)

Setelah mendengar sabda-sabda Sang Buddha, kedua belah pihak merasa malu dengan apa yang mereka lakukan. Akhirnya kedua sanak keluarga itu berdamai, membagi air Sungai Rohini itu dengan adil, untuk mengairi ladang kedua belah pihak. Mereka lalu hidup berdampingan dengan damai, karena kebencian dan iri hati sudah lenyap dari hati mereka.
Read rest of entry