Friday, July 2, 2010

"Kekuatan" Lidah

( from: unknown )


‎​Seseorang menceritakan gosip mengenai tetangganya & dalam beberapa hari saja, seluruh lingkungannya mengetahui ceritanya.Tetangganya itu tentu saja sakit hati.
Beberapa hari kemudian, orang yg menyebarluaskan gossip tersebut menyadari bahwa ternyata gosip itu tak benar.Dia menyesal, lalu datang kpd orang yg bijaksana untuk mencari tahu apa yg harus dilakukannya untuk memperbaiki kesalahannya itu.

"Pergilah ke pasar", kata orang bijak itu, "belilah kemoceng, kemudian dalam perjalanan pulang, cabuti bulu ayam di kemoceng & buanglah satu persatu di sepanjang jalan pulang".
Meski kaget mendengar saran itu, si penyebar gosip tetap melakukan apa yg disuruh kepadanya.

Keesokan harinya orang tersebut melaporkan apa yg sudah dilakukannya.
Orang bijak itu berkata lagi, "Sekarang pergilah & kumpulkan kembali semua bulu ayam yg kau buang kemarin & bawa kepadaku".
Orang itu pun menyusuri jalan yg sama, tapi angin tlah melemparkan bulu-bulu itu ke segala arah.Setelah mencari selama beberapa jam, ia kembali hanya dgn tigapotong bulu.
"Lihat kan?" kata orang bijak itu, "Sangat mudah melemparkannya, namun tak mungkin mengumpulkannya kembali. Begitu pula dgn gossip. Tak sulit menyebarluaskan gossip, namun sekali gossip terlempar, 7 ekor kudapun tak dapat menariknya kembali."

PESAN MORAL

Lidah memang suatu anggota yg kecil,
tapi sangatlah besar kuasanya.
Bila kita salah menggunakan,
maka hancurlah smua yg ada disekitar kita.
Lidah yg lembut adalah pohon kehidupan,
Tapi lidah yg jahat melukai hati orang lain!
Mulut orang benar mengeluarkan hikmat,
tetapi lidah bercabang akan dikerat
Read rest of entry

Monday, June 28, 2010

Musuh masih teman kita ~ Mingyur Rinpoche

仇人還是朋友~~明就仁波 切

Musuh masih teman kita ~ Mingyur Rinpoche

 
 
你最大的敵人,可能是別人最好的朋友,
Musuh terbesar kamu, bisa jadi adalah teman terbaik dari orang lain.
 
 
你最好的朋友,可能是別人最大的敵人
Teman terbaik kamu, mungkin adalah musuh terbesar orang lain.

 
有時候,我們討厭的人, 卻給了我們成長進步的機會, 甚至給了我們修行佛法的機會
Adakalanya, Orang yang kita benci justru adalah orang memberikan kita kesempatan untuk tumbuh dan berkembang maju, bahkan memberikan kesempatan bagi kita untuk praktik Dharma.
 
 
而我們喜愛的人, 卻可能是我們成長進步的障礙, 甚至是修行佛道的障礙
Sebaliknya orang yang kita sayangi, justru berkemungkinan menjadi hambatan dan rintangan bagi kita untuk tumbuh dan berkembang, bahkan menjadi rintangan untuk menelusuri Jalan keBuddhaan.
 
 
當我們這麼想時, 怎能不生起平等心? 冤親平等那是因為,本來就沒有, 從來就沒有, 絕對的敵人與絕對的親人。
Saat kita mampu merenung seperti ini, kenapa bisa tidak kita bangkitkan hati yang seimbang ( non dualistik)? Musuh dan Teman adalah sama, itu karena pada hakikatnya tiada yang namanya musuh yang mutlak/sejati dan teman yang mutlak/sejati.
 
 
Diterjemahkan oleh : Rohana Huang

 
Read rest of entry

Jangan Biarkan Batin ini Kering

Tenang, gembira dalam ketekunan (berlatih), Melihat bahaya dalam kelalaian,
Mereka seperti ini tidak akan pernah jatuh atau gagal, karena mereka dekat dengan Nibbana.
Itivutaka. 40



Lalai

Suatu hari saya bertanya kepada seorang umat, “Masih rajin ke vihara?” "Sudah
tidak lagi Bhante, aktivitas saya semakin hari semakin bertambah". Sebuah
jawaban yang kelihatan benar tetapi sesungguhnya untuk membenarkan dirinya
sendiri. Seolah-olah dengan kesibukan yang setumpuk itu menandakan bahwa tidak
ada waktu lagi untuk kehidupan spiritualnya.

Seringkali orang menjadi lupa membenahi batinnya karena berbagai macam alasan
dalam kehidupannya. Ada seorang yang dulunya rajin setelah berumah tangga
menjadi tidak lagi dekat dengan Dhamma. Ada juga yang karena kesibukan rumah
tangganya juga menghentikan aktivitas spiritualnya. Banyak ditemui di masyarakat
orang-orang yang akhirnya menghentikan aktivitas spiritualnya karena
alasan-alasan tertentu.

Mereka lalai dan melupakan aktivitas spiritualnya hanya karena alasan kesibukan
dan yang lainnya. Mereka tenggelam dan asik menikmati dunia barunya. Mereka
tidak menyadari bahwa mereka semakin jauh dari kehidupan yang bernuansa Dhamma.
Mereka tidak menyadari bahwa kalau mereka semakin jauh dari Dhamma mereka akan
semakin jauh dari kedamaian batin. Mereka bisa saja menikmati
kesenangan-kesenangan duniawi tetapi batinnya mengalami ketegangan. Hidupnya
menjadi tidak nyaman.


Batin yang Kering

Dampak dari jauhnya kehidupan manusia dari Dhamma adalah batin yang kering.
Batin yang kering menimbulkan dampak yang tidak baik bagi orang tersebut dan
juga orang lain, lingkungan bahkan makhluk lain. Kenapa?

Sebagai sebuah gambaran dalam kehidupan ini adalah ketika dunia ini dilanda
musim kemarau. Dampak dari musim kemarau adalah munculnya kebakaran, sulit air
dan suasana panas yang menimbulkan ketidaknyamanan. Demikian pula ketika batin
ini kering. Batin yang kering akan menimbulkan dampak yang tidak nyaman pula.

Mereka mudah marah, benci, rakus, kecewa, dan hal-hal negatif lainnya. Karena
manusia dibelenggu oleh akar kejahatan yang kuat maka manusia mudah terbakar.
Ketika dihadapkan dengan masalah mudah marah dan melakukan tindakan tercela.
Ketika tidak tercapai cita-citanya mudah kecewa dan putus asa. Tidak senang
melihat orang lain berhasil. Selalu berpikir untuk menguasai yang lain.

Ketika batin dibebani oleh pikiran-pikiran semacam itu tentu batin ini akan
mengalami ketegangan yang luar biasa. Ketegangan batin berdampak tidak nyamannya
hidup seseorang. Makan tidak enak tidur, tidak nyenyak, dan setiap langkah
kehidupannya terasa berat berat.


Lihatlah Dirimu

Jangan hanya menjadi penonton kehidupan ini tetapi jadilah pelaku dalam
kehidupan ini. Ketika kita hanya menjadi penonton maka kita hanya bisa
mengomentari orang lain atau apa yang kita lihat. Melihat kesalahan dan
kekuarangan orang lain lebih mudah dibandingkan melihak kesalahan dan kekurangan
dirinya sendiri. Kalau seseorang hanya pandai mengomentari orang lain maka orang
tersebut tidak akan mendapat kemajuan dalam batinnya.

Seharusnya kita menjadi pelaku. Jangan hanya melihat orang lain tetapi lihatlah
dirimu sendiri. Lihatlah bahwa batinmu semakin hari semakin kering. Jangan
menunggu kebakaran hebat akan menghanguskan kehidupanmu. Dengan melihat ke dalam
diri seseorang dapat melihat apa yang terjadi dalam dirinya.

Ketika berhasil melihat ke dalam dan berusaha untuk mendianogsa ternyata
batinnya penuh dengan luka dan jika tidak segera disembuhkan luka itu akan
semakin parah. Lakukan sesuatu untuk kehidupanmu dan jangan biarkan hari-harimu
dihinggapi pikiran-pikiran buruk. Jangan semakin jauh dari Dhamma tetapi
berusahalah semakin dekat dengan Dhamma. Jangan biarkan batin ini kering karena
kehidupanmu semakin jauh dari Dhamma. Hidup sesuai Dhamma akan memberi dampak
yang luar biasa untuk hidup saudara.

Sembuhkan luka, keluarkan racun dan singkirkan penyakit yang ada dalam batin
ini. Bagimana caranya? Gunakan setiap peluang yang dapat membuat batinmu tenang
dan bahagia. Sebenarnya banyak peluang dalam kehidupan ini hanya saja kita tidak
mau menggunakan peluang itu. Ketika ada peluang untuk berbuat baik lakukan
perbuatan baik itu. Kalau ada peluang untuk menata perilaku jalankan agar
moralitasnya semakin baik. Jika ada peluang untuk membersihkan luka pada batin
ini jangan disia-siakan dan bersihkan segera. Kemauan harus dikuatkan agar tidak
berhenti untuk melihat diri sendiri dan berusaha untuk membuat batin ini menjadi
lebih baik dan segar setiap saat.


Dhamma Ibarat Air yang Menyejukkan

Saudara tidak mau gagal dalam spiritual? Kalau tidak mau gagal harus tekun
menyiram batin ini dengan Dhamma. Dhamma dapat menyejukan batin sehingga dapat
terlepas dari ketegangan mental. Dhamma akan membuat batin ini menjadi nyaman
kalau Dhamma ini dipraktekkan dalam keseharian kita.

Setiap perjuangan akan dihadapkan dengan tantangan demikian pula usaha kita
untuk mengolah batin ini agar tidak kering juga akan berhadapan dengan
tantangan. Rasa lelah, letih, dan bosan ketika berlatih adalah hal yang dapat
menghambat perjuangan ini. Namun kalau kita kembali pada tujuan utama, hambatan
itu dapat terlampaui. Bukankah kita tidak mau batin ini kering? Yang diharapkan
oleh semua orang adalah batin yang sejuk sehingga kehidupannya nyaman.

Kalau kita menginginkan semua itu terwujud maka kita berusaha untuk
terus-menerus berjuang. Kuatkan tekad, berusahalah untuk tekun dan sabar karena
kita tidak akan menjadi orang yang gagal. Kemauan, semangat, ketekunan, dan
kesebaran adalah faktor penting dalam latihan. Dhamma akan menyejukan batin
setiap orang jika orang tersebut mau berjuang. Batin yang tidak kering dan
selalu sejuk setiap saat akan membuat orang berperiliku sesuai dengan Dhamma.
Orang tersebut tidak akan mudah marah, tidak rakus, tidak mudah kecewa, dan
putus asa. Pendek kata pikiran-pikiran buruknya akan berkurang seiring dengan
ketekunannya berlatih. Jangan biarkan batin ini kering oleh karena itu sejukan
batin ini dengan selalu tekun dalam mempraktekan Dhamma

Ditulis Oleh: Bhikkhu Abhayanando
®
Read rest of entry

Wednesday, June 16, 2010

Tak Akan Lari dari Karma

Kisah ini menceritakan seorg tukang kayu yg hidup bersama istrinya di sebuah rumah sederhana di pinggiran hutan. Meskipun sudah lama menikah, namun mereka belum dikaruniai anak. Si tukang kayu adalah org yg rutin bermeditasi. Krn diasah setiap hari, konsentrasinya menjadi sangat kuat dan lama kelamaan indra pendengarannya pun semakin tajam. Kadang2 dia bisa mendengar suara2 makhluk halus disekitarnya.

Suatu hari, seperti biasa si tkg kayu pergi ke gudang mengambil kapak dan setelah itu dia pergi ke hutan mencari kayu bakar. Ketika sedang membelah kayu, tiba-tiba dia mendengar suara 2 anak kecil sedang bercakap cakap.

"Hei, kamu mau kemana?"
"Saya mau ke rumah itu, saya mau menagih karma."
"Oh, saya jg mau kesana, kalo saya sih mau bayar karma."

Si tkg kayu hanya diam sambil melanjutkan pekerjaaannya seolah dia tidak mendengar apa2. Kemudian dia mengumpulkan kayu bakar yg sdh dibelah, mengikatnya menjadi satu dan mengusungnya ke rumah .

Setibanya di rumah, betapa kagetnya dia ketika mendapati seorg tabib tengah memeriksa istrinya. Ternyata istrinya sedang hamil anak kembar. Si tkg kayu berpikir "Ah... pastilah dua anak kecil tadi yg masuk ke rahim istriku."

Tahun berganti tahun, si kembar pun mulai tumbuh. Sejak kecil, sudah tampak perbedaan yg mencolok diantara keduanya. Yg sulung malas dan nakal, yg bungsu rajin dan penurut. Seiring pertumbuhannya, si sulung terus menerus membuat masalah dan keributan bagi keluarganya. Banyak perbuatannya yg membuat si tkg kayu terpaksa harus menanggung malu. Tukang kayu pun berpikir "Pasti ini anak yg datang utk menagih karma, makanya dia sering membuat aku susah dan malu. Baiklah, aku tidak mau anak ini terus
menerus menagih karmanya sampai aku tua. Akan aku usir dia dari rumah."

Akhirnya si sulung pun diusir dari rumah. Sekarang hanya tinggal si bungsu yg rajin dan penurut. Tidak ada lagi yg membuat keributan. Si tkg kayu dapat hidup dengan tentram dan damai, mencurahkan seluruh harapan dan kasih sayangnya kepada si bungsu.

Tahun berlanjut, rasa sayang kepada si bungsu semakin dalam, harapan pun semakin besar. Namun tiba tiba si bungsu jatuh sakit. Tkg kayu menghabiskan tabungannya utk membayar tabib-tabib terbaik, membeli obat-obat terbaik, namun si bungsu belum sembuh juga. Karena tabungannya sudah habis, tkg kayu pun menjual sawah serta ternak peliharaannya utk menambah biaya pengobatan. Tapi, penyakit anaknya ternyata sangat langka, belum pernah ada orang yg terserang penyakit seperti itu, para tabib mulai kebingungan dan akhirnya menyerah.

Tukang kayu tidak kehabisan akal. Dia menjual rumah serta seluruh harta bendanya dan pergi keluar kota utk mencari tabib lain. Demi kesembuhan anak kesayangannya, apapun akan dia lakukan. Tapi sampai di luar kota, dia memperoleh jawaban yg sama. Penyakit anaknya sangat langka. Belum ada obat utk penyakit itu. Tak lama kemudian, di tengah kemelaratan dan keputus-asaan si tukang kayu, anaknya meninggal.

Tak terlukiskan lagi kepedihan dan kekecewaan yg dirasakan si tukang kayu...  Ternyata, inilah anak yg datang utk menagih karma ...

Tkg kayu sadar dia tidak bisa lari dari karmanya sendiri. Dulu dia berpikir, si sulung lah yg datang utk menagih karma karena kenyataannya anak itu seringkali membuat masalah. Tukang kayu teringat kembali pada anak sulung yg telah diusirnya. Dia merasa sangat menyesal.

Sementara si sulung, setelah diusir dia pergi keluar kota, mencari pekerjaan utk menghidupi dirinya. Dia bekerja dgn sangat rajin, sehingga dlm waktu singkat dia menjadi karyawan kepercayaan dan kesayangan majikannya. Setelah tabungannya cukup, dia berhenti dari pekerjaannya dan pulang ke kampung halaman utk mencari orang tuanya. Meskipun telah diusir, tapi dia tidak mempunyai rasa dendam di hati. Karena dia adalah anak yg
datang utk membayar karmanya.


Si sulung akhirnya tiba di kampung halamannya. Dengan tabungan yg dia kumpulkan, dia membelikan rumah baru utk keluarganya. Merekapun hidup dgn damai.

Karma selalu ada disana, seperti buah yg tergantung pada cabang pohon. Menunggu kematangannya pada waktu yg tepat, pada kondisi yg tepat. Dan saat buah itu matang, ia akan jatuh menghantam tanah dibawahnya. Sekeras apa buah itu menghantam tanah, tergantung berat dari buah itu sendiri. Seberat apa karma yg berbuah, sesakit apa derita yg hrs kita rasakan, tergantung dari berat karma yg telah kita lakukan. Tidak lebih, tidak kurang.

Lalu apa yg harus kita lakukan? Apakah tidak ada cara utk menghapus karma? Kita tidak bisa menghapus karma, tapi bisa membuatnya menjadi lebih ringan. Perbanyaklah berbuat kebajikan. Sekecil apapun kebajikan itu, jika dilakukan dgn hati tulus, akan lebih besar karmanya. Seperti halnya segelas air garam yg sangat asin, jika ditambah dgn air tawar, sampai gelas itu tak mampu lagi menampung dan air mulai berceceran keluar, lama kelamaan air yg asin akan mengalir keluar dan yg tersisa di gelas hanyalah
air tawar saja.

Seperti itulah seharusnya yg kita lakukan dalam kehidupan kali ini. Entah sudah berapa karma buruk yg telah kita lakukan. Dan skrg, di kehidupan ini, di saat kita berkesempatan bertemu dengan Dhamma, seharusnya kita banyak berbuat kebajikan utk mengurangi karma-karma buruk kita.

Dan ingatlah, jika ada karma buruk yg terjadi pada Anda, janganlah membalasnya, krn disaat Anda berbuat, disitu karma baru diciptakan. Relakan saja, dan berpikirlah positif  "Ah, karma burukku berkurang satu."

Mungkin kedengarannya sangat susah utk dijalankan. Seberapa banyak dari kita yg bisa tetap baik dan bersahabat dgn org yg telah mencuri, menipu, memfitnah kita?

Tapi pernahkan Anda mencoba utk tetap bertahan tdk membalas, mencoba utk berdamai dengan perasaan kecewa dan marah?

Cobalah sekali saja, tutup rapat-rapat mulut Anda disaat hendak marah, Anda akan tau, mengalahkan diri sendiri jauh lebih susah daripada mengalahkan sepuluh orang.

Dan disaat Anda sedang menutup rapat mulut Anda, menahan amarah Anda, disitulah Anda bertemu dengan Dhamma yg mengatakan
" Musuh terutama bagi manusia, adalah dirinya sendiri."
Read rest of entry

Tuesday, May 4, 2010

Raksasa pemakan daging yang menjadi Sadar [Alavaka]



Alavaka, yang tinggal di dekat kota Alavi, adalah pemakan daging manusia. Karena begitu galak, berkuasa, dan liciknya maka ia dikenal sebagai `si Raksasa'. Suatu hari, raja negeri Alavi pergi berburu rusa di hutan dan ia ditangkap oleh Alavaka. Sang Raja memohon agar ia dilepaskan, tetapi sebagai ganti dari kebebasannya itu ia harus mengirim satu orang setiap hari ke hutan sebagai persembahan untuk Alavaka.

Setiap hari seorang tahanan dikirim ke dalam hutan dengan membawa sepiring nasi. Dikatakan bahwa untuk mendapatkan kebebasannya, tahanan itu harus pergi ke pohon tertentu, menaruh nasi di sana dan kemudian dia dapat bebas. Pada mulanya banyak tahanan yang dengan sukarela melaksanakan tugas yang `sederhana' itu. Tetapi setelah waktu berlalu dan tak seorang pun yang kembali untuk menceritakan apa yang telah terjadi kepada tahanan lainnya, para tahanan harus dipaksa setiap hari untuk pergi ke hutan.

Segera saja penjara menjadi kosong. Bagaimana sekarang cara raja memenuhi janjinya untuk mengirimkan seorang manusia setiap hari untuk santapan raksasa tersebut? Para menteri mengusulkan kepada raja agar meletakkan bungkusan-bungkusan yang berisi emas di jalanan. Mereka yang ditemukan mengambil bungkusan tersebut akan ditangkap sebagai pencuri dan dikirim kepada Alavaka. Lama-kelamaan, tak seorang pun berani mengambil bungkusan-bungkusan itu. Akhirnya usaha terakhirnya adalah raja mulai menangkap anak-anak untuk dijadikan persembahan. Permasalahan yang menakutkan ini menyebabkan kota tersebut menjadi sepi. Akhirnya hanya tinggal satu orang anak laki-laki-dan ia adalah putra sang Raja. Dengan berat hati, sang Raja memerintahkan agar sang Pangeran dikirim ke Alavaka keesokan paginya.

Hari itu, Sang Buddha kebetulan berada di dekat kota itu. Ketika Beliau memantau dunia ini dengan mata batinNya pagi itu, Beliau melihat apa yang sedang terjadi. Karena rasa belas-kasihNya kepada sang Raja, sang Pangeran, dan Alavaka. Sang Buddha seharian melakukan perjalanan untuk pergi ke goa tempat raksasa tersebut dan pada malam harinya Beliau tiba di pintu gerbang goa tersebut.

Si Raksasa sedang pergi ke gunung, dan Sang Buddha menanyakan penjaga gerbang apakah Beliau dapat bermalam di goa itu. Ketika penjaga gerbang pergi untuk memberitahukan tuannya tentang permintaan ini, Sang Buddha masuk ke dalam goa, duduk di tempat duduk si Raksasa dan membabarkan Dhamma kepada para istri raksasa tersebut.

Ketika si Raksasa mendengar apa yang telah terjadi dari pembantunya, dia segera pulang ke rumah dengan sangat marah. Dengan kekuatan maha dasyatnya, dia menciptakan badai yang hebat dengan goncangan dan petir di hutan itu disertai guntur, kilat, angin, dan hujan. Tetapi Sang Buddha tidak takut. Alavaka kemudian menyerang Sang Buddha dengan melempar tombaknya menghantam Sang Buddha, tetapi sebelum senjata itu dapat menyentuh Beliau, tombak-tombak itu jatuh di dekat kaki Sang Buddha. Karena tidak dapat menakut-nakuti Sang Buddha, Alavaka bertanya:

"Benarkah tindakan Anda, seorang manusia suci, masuk dan duduk di antara para istri pemilik rumah ketika pemiliknya sedang tidak di tempat?" Sang Buddha lalu bangkit dan akan meninggalkan goa itu.

Alavaka berpikir, "Betapa bodohnya saya membuang-buang tenaga dengan mencoba menakut-nakuti pertapa ini". Karena itu dia meminta Sang Buddha masuk ke dalam goa lagi. Si Raksasa memerintahkan Sang Buddha tiga kali untuk keluar dari goa dan tiga kali untuk masuk ke dalam goa dengan harapan dia dapat membunuh Sang Buddha akibat kelelahan. Setiap kali, Sang Buddha melakukan apa yang diperintahkan oleh si Raksasa. Tapi ketika si Raksasa memerintahkan Sang Buddha untuk meninggalkan goa tersebut untuk keempat kalinya, Sang Buddha menolak melakukannya dan berkata, "Saya tidak akan mematuhi perintahmu, Alavaka. Lakukan apa saja yang dapat kamu lakukan tapi Saya akan tetap tinggal di sini".

Karena tidak sanggup memaksa Sang Buddha melakukan apa yang diinginkan, Alavaka mengubah taktiknya dan berkata, "Saya akan menanyaimu beberapa pertanyaan. Jika engkau tidak dapat menjawabnya saya akan mengoyak jantungmu, membunuhmu, dan melemparkanmu ke seberang sungai".

Sang Buddha berkata kepadanya dengan tenang, Tak ada seorang pun, Alavaka, apakah ia seorang manusia atau dewa, pertapa, brahma atau brahmana, yang dapat melakukan hal itu terhadapKu. Tetapi jika engkau ingin menanyakan sesuatu, silakan lakukan". Alavaka menanyakan beberapa pertanyaan yang dia pelajari dari orangtuanya yang juga mendapatkannya secara turun-temurun. Dia telah lupa pada jawabannya, tetapi dia harus melestarikan jawaban-jawaban tersebut dengan menuliskannya di atas daun emas.

Pertanyaan tersebut adalah: "Apakah kekayaan terbesar bagi seorang manusia? Apakah yang dapat memberikan kebahagiaan tertinggi ketika seseorang menguasainya dengan baik? Apakah rasa termanis dari semua rasa? Jalan kehidupan mana yang terbaik?

Sang Buddha menjawab: "Kekayaan terbesar bagi seorang manusia adalah keyakinan. Doktrin/ajaran yang benar bila dikuasai dengan baik akan memberikan kebahagiaan tertinggi. Rasa yang paling manis adalah rasa kebenaran. Hidup yang bijaksana adalah cara hidup yang sepatutnya".

Alavaka menanyakan beberapa pertanyaan lagi yang semuanya dijawab oleh Sang Buddha. Pertanyaan yang terakhir adalah: "Ketika meninggalkan dunia ini untuk menuju ke dunia/alam berikutnya, bagaimana agar seseorang itu tidak bersedih?" Jawaban Sang Buddha adalah: "Ia yang memiliki empat kebajikan ini -kebenaran, moral yang baik, keberanian, dan kemurahan hati-maka kesedihan tidak akan ada ketika ia harus meninggal dunia". Karena mengerti arti dari kata-kata Sang Buddha, Alavaka berkata, "Sekarang saya tahu apa rahasia dari kesejahteraan masa depanku. Adalah demi kesejahteraan dan kebaikan diriku, Sang Buddha datang ke Alavi".

Alavaka bersujud kepada Sang Buddha dan memohon agar ia diterima sebagai murid. Keesokan paginya ketika para petugas kerajaan Alavi datang bersama dengan putra raja, mereka terpana melihat pemandangan dimana Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada Alavaka yang mendengarkan khotbah itu dengan penuh perhatian. Ketika anak itu dituntun ke arah Alavaka, Alavaka merasa malu pada dirinya sendiri untuk menerima anak itu sebagai persembahan raja. Dan sebaliknya dia membelai kepala anak itu, menciumnya dan menuntunnya kembali kepada para petugas. Setelah itu Sang Buddha memberkati anak itu dan Alavaka.

Tentu saja, perubahan dari Alavaka sang pemakan daging manusia, menunjukkan bagaimana Sang Buddha, dengan kebijaksanaan dan welas-asihNya yang besar, dapat menjinakkan makhluk yang ganas serta mengubahnya menjadi murid yang lembut.
Read rest of entry

Anak-Anak Pengikut Aliran Sesat mengunjungi Sang Buddha



Pada suatu ketika, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihara Jetavana, Savatthi, terdapat beberapa orang tua yang menjadi pengikut aliran yang sesat. Ketika mereka melihat anak-anak mereka bermain-main dengan anak-anak yang orang tuanya pengikut Sang Buddha, mereka marah dan tidak senang. Setelah anak-anak itu selesai bermain dan pulang ke rumah, mereka segera memarahi anak-anaknya :
"Mulai sekarang, kalau kamu bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu pengikut Pangeran Sakya, kamu tidak usah memberi hormat, dan tidak boleh memasuki pertapaan mereka". 

Anak-anaknya disuruh bersumpah, harus mentaati apa yang mereka katakan.
Pada suatu hari, anak-anak pengikut aliran sesat itu sedang bermain-main di luar Vihara Jetavana, tempat Sang Buddha berdiam. Mereka bermain-main di depan pintu gerbang Vihara, setelah lelah bermain, mereka merasa amat haus dan ingin minum. mereka lalu menyuruh salah seorang temannya masuk ke dalam Vihara :
"Kamu masuk dulu ke dalam, mintalah air minum dan bawakan juga untuk kami".

Salah seorang anak laki-laki itu masuk ke Vihara, dan bertemu dengan Sang Buddha. Setelah memberi hormat, ia bercerita bahwa mereka sedang bermain-main di depan Vihara dan sekarang merasa haus, ingin minta air minum. Sang Buddha berkata : "Kamu boleh minum air di sini, kalau sudah minum, kembalilah ke teman-temanmu, ajaklah mereka minum di sini".

Kemudian semua anak-anak itu masuk ke dalam Vihara untuk minum. Selesai minum, Sang Buddha mengumpulkan mereka, dan mengajarkan Hukum Alam Semesta dengan kata-kata yang mudah mereka pahami. Akhirnya mereka mengerti dan menjadi murid Sang Buddha.

Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, dan bercerita kepada orang tua mereka tentang Ajaran Sang Buddha. Beberapa orang tua yang menganut pandangan sesat itu bersedih hati dan menangis: "Anak kami telah manganut pandangan sesat". 

Tetapi ada beberapa orang tua yang pandai dan mengerti Ajaran Sang Buddha. Ketika menyadari kekeliruannya, mereka mendatangi orang tua yang keliru itu dan menjelaskan Ajaran Sang Buddha. Akhirnya mereka semua mengerti akan Dhamma yang Sang Buddha ajarkan, mereka berkata: "Kami akan menyuruh anak-anak kami melayani Sang Guru Agung kita"

Bersama dengan keluarga masing-masing, mereka berbondong-bondong mengunjungi Sang Buddha. Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran mereka sudah berubah, segera menerangkan kembali AjaranNya kepada mereka. Sang Buddha mengucapkan syair:

"Mereka yang menganggap tercela terhadap apa yang sebenarnya tidak tercela dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang sebenarnya tercela, maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara".

(Dhammapada, Niraya Vagga no. 13)

"Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela, dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tercela, maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk ke alam bahagia".

(Dhammapada, Niraya Vagga no. 14)
Read rest of entry

Sikap Sang Buddha terhadap Guru-guru agama lain [Upali]


Upali, seorang jutawan, adalah salah seorang murid terbaik dari guru agama lain yang bernama Nigantha Nathaputta, yang ajarannya berbeda dengan ajaran Sang buddha. Karena sangat mahir dalam hal berdebat, Upali di minta oleh guru agamanya untuk mendekati Sang Buddha dan mengalahkan Beliau dengan pokok-pokok tertentu tentang Hukum sebab-Akibat (Kamma-vipaka). Setelah melewati diskusi yang panjang, Sang Buddha mampu meyakinkan Upali bahwa pandangan-pandangan dari guru agamanya adalah keliru.


Upali sangat terkesan dengan ajaran Sang Buddha sehingga ia langsung meminta untuk di terima sebagai pengikut Sang Buddha. Ia tercengang ketika Sang Buddha menasihatinya,"Upali, engkau adalah orang yang terkenal. yakinlah benar-benar bahwa engkau tidak mengubah agama/kepercayaanmu hanya karena engkau senang kepada Tathagata atau karena engkau sedang dalam pengaruh emosi/perasaanmu. Periksalah sepenuhnya ajaran Tathagata dengan pikiran terbuka sebelum engkau memutuskan untuk menjadi pengikut Tathagata".

Dengan semangat pemeriksaan yang bebas terhadap ajaran Sang Buddha, upali bahkan semakin senang dan ia berkata,"Yang Mulia, adalah sangay menakjubkan bahwasannya Anda meminta saya untuk mempertimbangkannya dengan hati-hati. Jika itu adalah guru-guru yang lain, mereka akan segera menerimaku dengan tanpa ragu-ragu, membawaku berkeliling di jalan-jalan dalam suatu prosesi dan mengumumkan bahwa seorang jutawan yang demikian-demikian telah meninggalkan agama/kepercayaan lamanya dan sekarang memeluk ajaran mereka. Ya, benar-benar, Yang Mulia, sudilah menerima saya sebagai pengikutMu".

Sang Buddha akhirnya setuju menerima Upali sebagai pengikut awamNya tetapi dengan menasehatinya demikian,"Meskipun engkau sekarang telah menjadi pengikutKu, Upali, engkau harus mempraktikkan toleransi dan rasa welas-asih. Teruslah memberi dana kepada guru-guru agama terdahulumu, karena mereka masih amat tergantung pada tunjanganmu. engkau tidak boleh mengabaikan mereka dan menghentikan tunjangan yang biasanya engkau berikan kepada mereka".

Nasihat Sang Buddha tentang toleransi, pemeriksaan yang bebas (terhadap ajaranNya) dan tidak menerima ajaranNya karena alasan-alasan emosi/perasaan, telah memberikan catatan yang bersih dalam sejarah penyebaran agama Buddha. Tidak pernah ada penganut-penganut fanatik agama Buddha yang memaksa orang-orang untuk menerima agama ini dengan menyiksa atau menakut-nakuti mereka dengan ganjaran hukuman. Agama Buddha mampu menyebar dalam cara yang damai, sebagian besar adalah karena keindahannya dan kemauan baik yang terkandung di dalamnya
Read rest of entry

Sang Buddha Memberi Makan Orang Kelaparan

RENUNGAN CERITA : Sang Buddha Memberi Makan Orang Kelaparan

Pada suatu hari ketika Sang Buddha sedang duduk bermeditasi di Vihara Jetavana, dengan Mata Buddha-Nya, Sang Buddha melihat seorang laki-laki yang amat miskin tinggal di Alavi. Sang Buddha mengetahui bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk mencapai tingkat kesucian. Sang Buddha ingin membantu orang itu, lalu bersama dengan lima ratus orang muridnya, Sang Buddha melakukan perjalanan menuju Alavi.

Penduduk Alavi setelah mengetahui kedatangan Sang Buddha, segera mengundang Sang Guru Agung menjadi tamu mereka. Ketika orang miskin itu mendengar kedatangan Sang Buddha, ia ingin sekali bertemu dengan Sang Buddha dan mendengar Ajarannya. Tetapi, pada hari itu seekor lembunya tersesat. Ia bimbang,
"Apakah saya mencari lembu yang hilang itu ataukah saya pergi menemui Sang Buddha untuk mendengarkan AjaranNya?".
Akhirnya ia memutuskan:
"Pertama-tama saya akan mencari lembu yang hilang itu terlebih dahulu, kemudian saya akan pergi menemui Sang Buddha".

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke hutan untuk mencari lembunya yang tersesat. Penduduk desa Alavi mempersilahkan Sang Buddha beserta murid-muridnya untuk duduk di tempat yang telah mereka persiapkan, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya dengan penuh hormat. Sesudah makan, Sang Buddha biasanya mengucapkan terima kasih dengan membacakan Paritta Pemberkahan, tetapi kali ini Sang Buddha berkata:

"Ia yang menyebabkanKu datang ke sini bersama para bhikkhu sedang pergi ke hutan mencari lembunya yang hilang. Kita tunggu sampai dia kembali, setelah ia datang Aku akan membabarkan Dhamma". Kemudian Sang Buddha duduk diam. Orang miskin itu setelah menemukan lembunya yang tersesat, segera menggiring lembunya kembali ke kandang. Ia lalu berpikir: "Kalau tidak ada apa-apa lagi, saya harus segera pergi mengunjungi dan memberikan hormat kepada Sang Buddha".

Dengan menahan rasa lapar yang amat sangat, ia segera pergi menemui Sang Buddha.
Setelah orang itu bernamaskara di hadapan Sang Buddha, ia lalu duduk diam-diam di salah satu sisi. Sang Buddha setelah melihat orang itu datang, segera berkata kepada orang yang melayaninya:
"Apakah masih ada makanan?".
"Masih ada Yang Mulia, masih banyak makanan".
"Berikanlah makanan kepada orang ini".

Kemudian orang itu diberikan bubur dan makanan lainnya. Setelah selesai makan, ia mencuci mulutnya lalu duduk dengan tenang. Kemudian Sang Buddha membabarkan Dhamma, menjelaskan Empat Kesunyataan Mulia. Pada akhir khotbah, orang itu mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Setelah Sang Buddha selesai membabarkan Dhamma, Beliau lalu membacakan Paritta Pemberkahan dan segera meninggalkan desa itu. 

Di perjalanan, para bhikkhu menyatakan keheranannya dengan apa yang Sang Buddha lakukan pada hari ini, mereka berkata: "Saudaraku, Guru kita belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Tetapi melihat orang itu kelaparan, Sang Guru meminta penduduk desa menyediakan makanan untuknya".
Sang Buddha segera berhenti berjalan, berbalik dan bertanya:
"O, para bhikkhu, apa yang kalian bicarakan?".
Setelah Sang Buddha mendengar apa yang mereka bicarakan, Beliau berkata:
"O, para bhikkhu, kedatanganKu kemari dengan melalui perjalanan yang berat dan jauh ini adalah karena Aku melihat orang itu mempunyai kemampuan untuk mencapai Tingkat Kesucian. Pagi-pagi sekali dengan menahan lapar, ia ke hutan mencari lembunya yang hilang. Jadi kalau Aku membabarkan AjaranKu kepada orang yang perutnya lapar, ia tidak akan dapat mengerti apa yang Kuajarkan. Karena itu Aku melakukan apa yang harus Kulakukan. O, para bhikkhu, kelaparan adalah penyakit yang paling berat".
Sang Buddha lalu mengucapkan syair:

"Kelaparan merupakan penyakit yang paling berat. Segala sesuatu yang berkondisi merupakan penderitaan yang paling besar. Setelah mengetahui hal ini sebagaimana adanya, orang bijaksana memahami bahwa Nibbana merupakan kebahagiaan tertinggi"

(Dhammapada, Sukha Vagga no. 7)
Read rest of entry

Sesudah Badai Berlalu ..... Tenang

RENUNGAN CERITA : Sesudah Badai Berlalu ..... Tenang

Ketika itu Sang Buddha sedang bersemayam di Savatthi. Disana tinggal seorang ibu yang sering dipanggil dengan Kanamata atau ibu Kana. Ibu ini pengikut setia Sang Buddha, ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Kana. Anak perempuannya ini sudah menikah dengan seorang laki-laki dari lain desa. Pada suatu waktu, Kana datang menengok ibunya. 

Beberapa hari kemudian suaminya mengirim pesan, supaya istrinya segera pulang ke rumah. Ibunya berkata :
"Tunggulah sampai esok hari", karena ia ingin membuat kue-kue untuk menantunya.
Keesokkan harinya, Ibu Kana membuat kue, tetapi pagi itu lewat empat bhikkhu di depan pintu rumahnya untuk pindapatta. Ibu Kana lalu memberikan kue-kue itu kepada keempat bhikkhu itu. Keempat bhikkhu yang sudah menerima kue, bercerita kepada bhikkhu lainnya bahwa kue dari Ibu Kana enak sekali.

Jadi, para bhikkhu yang lain juga berpindapatta kesana. Ibu Kana sebagai pengikut setia Sang Buddha, memberikan kue-kue yang dimasaknya. Akhirnya kue itu habis, tidak ada lagi yang tersisa untuk dibawa pulang anak perempuannya, Kana tidak jadi pulang ke rumahnya pada hari itu.

Hari berikutnya, hal yang sama terjadi lagi, Ibu Kana membuat kue-kue, dan para bhikkhu berpindapatta lagi ke rumahnya, dan Ibu Kana memberikan kue-kuenya, akhirnya kue yang dimasaknya itu habis lagi, dan anak perempuannya tidak jadi pulang lagi. Pada hari ketiga, suami Kana mengirimkan pesan apabila pada hari itu Kana tidak pulang ke rumah, ia akan mencari isteri lagi. Tetapi pada hari ketiga Kana tetap tidak bisa pulang karena kue yang dimasak ibunya habis lagi sebab para bhikkhu pada hari itu berpindapatta ke rumah ibunya.
Kemudian suami Kana yang menunggu istrinya tidak pulang-pulang, mengambil istri lagi. Kana menjadi amat marah kepada para bhikkhu. 

"Bhikkhu-bhikkhu ini telah menghancurkan rumah tanggaku."
Sejak saat itu apabila ia bertemu dengan para bhikkhu, ia selalu mencaci maki dan berlaku kasar. Akibatnya para bhikkhu tidak berani melalui jalan di depan rumah Ibu Kana lagi. Sang Buddha yang mengetahui hal itu, lalu pergi ke rumah Ibu Kana. Ibu Kana segera menyambut kedatangan Sang Buddha dan mempersilahkan Sang Guru Agung untuk duduk. Setelah memberikan hormat, ia lalu mempersembahkan bubur dan makanan-makanan lainnya. Selesai makan, Sang Buddha bertanya kepada Ibu Kana :
"Mana Kana?"
"Yang Mulia, ketika ia melihat Yang Mulia, ia merasa susah dan sekarang menangis."
"Apa alasannya?"
"Yang Mulia, ia telah mencaci dan berlaku kasar kepada para bhikkhu. Jadi ketika ia melihat Yang Mulia datang kesini, ia merasa amat susah dan sekarang ia menangis."
Sang Guru Agung memanggil Kana dan bertanya :
"Kana, mengapa ketika kamu melihatKu, kamu menjadi susah dan menyembunyikan diri sambil menangis?"

Kemudian ibunya menceritakan apa yang telah terjadi kepada Sang Buddha. Sang Buddha lalu berkata :
"Ibu Kana, apakah kamu memberikan kepada murid-muridKu apa-apa yang mereka terima, atau tidak?"
"Saya memberikan kepada mereka apa-apa yang mereka terima, Yang Mulia."
"Apabila murid-muridKu mendatangi rumahmu ketika mereka berpindapatta dan menerima dana yang kamu berikan, apakah murid-muridKu melakukan kesalahan?"
"Tidak, Yang Mulia, mereka tidak melakukan kesalahan, Kana sendiri yang bersalah."
Sang Buddha kembali bertanya kepada Kana :
"Kana, saya mengetahui murid-muridKu mendatangi rumahmu ketika mereka berpindapatta dan ibumu memberikan kue-kue kepada mereka, apakah murid-muridKu melakukan kesalahan?"
"Mereka tidak bersalah Yang Mulia, saya sendiri yang bersalah."

Setelah Kana menyadari kesalahannya, ia lalu memberikan hormatnya, dan mohon maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Sang Buddha lalu memberikan nasehat dan mengajarkan Dhamma kepada Kana. Pada akhir khotbah, Kana mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapanna). Sang Buddha lalu bangun dari tempat duduk, dan pulang kembali ke Vihara Jetavana.
 
Dalam perjalanan pulang menuju ke Vihara Jetavana, seorang Raja melihat Sang Buddha sedang berjalan melewati Istananya, Raja kemudian bertanya kepada pembantunya :
"Bukankah itu Sang Buddha?"
"Ya betul, Yang Mulia."
Lalu Raja itu mengirimkan salah satu pembantu utamanya untuk mengundang Sang Buddha mampir ke istananya : "Katakan kepada Sang Guru Agung, saya ingin menyampaikan hormat saya kepadaNya."
Ketika Sang Buddha tiba di istana, Raja menyambutnya, memberi hormat dan berkata :
"Yang Mulia, dari manakah Anda?"
"Saya baru saja dari rumah Ibu Kana, Yang Mulia Raja."
"Mengapa Anda pergi kesana, Yang Mulia?"
"Saya mendapat informasi Kana mencaci maki dan berlaku kasar terhadap para bhikkhu, karena itulah Saya pergi ke sana."
"Dapatkah Anda hentikan kemarahannya, Yang Mulia?"
"Tentu saja Yang Mulia Raja, ia sudah menghentikan kemarahannya, kini ia telah menjadi pemilik dari kekayaan yang melebihi kekayaan duniawi."
"Oh, luar biasa Yang Mulia, Anda telah membuatnya menjadi pemilik kekayaan yang melebihi kekayaan dunia, saya ingin membuatnya menjadi pemilik kekayaan di dunia ini."
 
Setelah Raja memberikan hormatnya kepada Sang Buddha, lalu Sang Buddha melanjutkan perjalanan menuju ke Vihara Jetavana. Sang Raja lalu mengirim kereta kencana yang sangat indah ke rumah Kana, mengundangnya untuk datang, dan menganggap Kana sebagai anaknya sendiri. Ia lalu mengumumkan :
"Siapakah yang ingin mengambil Kana, anak perempuanku ini?"
Ada seorang bijaksana yang kaya raya, yang mempunyai segalanya, menjawab :
"Yang Mulia, saya ingin mengambil anak perempuanmu itu."
Setelah berkata demikian, ia lalu membawa pulang Kana, memberikan semua kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya kepada Kana dan berkata :  "Anakku, lakukanlah perbuatan baik sesuai dengan keinginanmu."

Sejak itu Kana selalu berdana kepada semua bhikkhu yang datang untuk berpindapatta di ke empat pintu rumahnya. Ia lalu mencari bhikkhu yang lebih banyak lagi, karena ia ingin berdana lebih banyak lagi tetapi ia gagal menemukannya. Persediaan makanannya bertumpuk, baik makanan keras maupun lembut, selalu tersedia di rumah dan makanan itu mengalir keluar dari rumahnya seperti air bah saja.
Para bhikkhu lalu membicarakan kejadian ini di salah satu ruangan vihara. 

"Beberapa waktu yang lalu, saudara, empat saudara kita melukai perasaan Kana. Tetapi Kana yang meskipun merasa terluka, ia mendapat berkah dan perlindungan langsung dari Sang Guru sendiri. Sang Guru telah membuat pintu rumahnya amat berharga untuk para bhikkhu yang datang. Sekarang ia tidak dapat menemukan bhikkhu atau bhikkhuni yang lebih banyak untuk dilayaninya. Oh, sungguh luar biasa kekuatan Guru Agung kita ini!" Sang Buddha lalu datang dan mengucapkan syair :

"Bagaikan danau yang dalam, airnya jernih dan tenang, demikian pula bathin para bijaksana menjadi tenteram karena mendengarkan Dhamma."
(Dhammapada, Pandita Vagga no. 7)
Read rest of entry

Pertengkaran Antar Suku Sakya dan Suku Koliya


Pada suatu waktu, ketika Sang Buddha sedang berdiam di antara Suku Sakya, Beliau menghentikan pertengkaran antara dua sanak keluargaNya, yaitu Suku Sakya dan Suku Koliya.

Cerita ini dimulai ketika Suku Koliya dan Suku Sakya memperebutkan air Sungai Rohini, yang digunakan untuk mengairi ladang-ladang mereka. Air sungai ini dibendung dalam sebuah dam atau waduk yang dibangun di antara kedua kota, yaitu kota Kapilavastu dan kota Koliya.

Waktu itu Bulan Jettamula, kedua suku itu sedang menuai hasil ladang mereka. Banyak pekerja harian dikerahkan untuk menuai hasil tanaman mereka. Ketika mereka sedang menuai panen di tepi sungai itu, penduduk Koliya yang sedang bekerja, berkata: "Apabila air sungai ini dibagi dua, tentu saja tidak cukup untuk mengairi ladang-ladang kita. Sedangkan ladang-ladang kita ini menggunakan sistem pengairan tunggal. Seharusnya, kitalah yang menguasai air sungai ini."

Penduduk Suku Sakya yang mendengar kata-kata mereka, lalu menjawab : "Hai, kalian jangan berkata begitu! Ladang-ladang kami juga menggunakan sistem pengairan tunggal, seharusnya kamilah yang memiliki air sungai ini." 

"Enak saja! Kami tidak akan berikan air sungai ini kepadamu!"
Lama kelamaan, pembicaraan mereka makin sengit, saling mengejek dan menjelek-jelekkan pihak lainnya sehingga timbul pertengkaran, mereka mulai saling memukul. Pekerja-pekerja yang lain mulai saling menyerang, akhirnya menjadi pertengkaran besar. Pertengkaran itu menjadi semakin buruk, karena mereka saling mengejek dan menjelek-jelekkan pihak lainnya.

Pekerja-pekerja suku Koliya berkata :
"Hai, penderita kusta! Bawa anak dan istrimu pergi dari sini! Kami tidak mau dirugikan oleh gajah, kuda dan senjata-senjata yang dimiliki orang-orang buangan miskin seperti kalian ini, yang hidup hanya di bawah pohon Jujube seperti binatang!"
 
Karena pertengkaran semakin sengit, akhirnya masing-masing pihak lalu melaporkan pertengkaran ini kepada pimpinan mereka, yang melaporkan lagi ke atasannya. Dan seterusnya sampai akhirnya laporan pertengkaran ini sampai ke istana Raja. Kedua pihak kerajaan ini segera menyiapkan bala tentara perangnya untuk menyerang pihak lainnya. Dengan segera Suku Sakya yang datang bersama bala tentaranya berteriak :
 
"Hai, orang-orang Koliya, kami akan tunjukkan kekuatan dan kekuasaan kami, yang kalian katakan kami tinggal bersama dengan saudara perempuan kami."
Bala tentara Suku Koliya yang datang juga berteriak :
"Hai, orang-orang Sakya! Kami tidak takut! Akan kami tunjukkan kekuatan dan kekuasaan kami, meskipun kami hidup miskin di bawah pohon Jujube."

Ketika itu Sang Buddha melihat dengan Mata BuddhaNya, mengetahui bahwa kedua sanak saudara itu ingin berperang. Beliau berpikir :  "Kalau Aku tidak pergi kepada mereka, mereka akan saling menghancurkan. Adalah tugasKu untuk menghentikan pertempuran mereka."

Sang Buddha dengan kekuatan kesaktiannya, terbang di udara menuju tempat di mana kedua sanak keluargaNya akan bertempur. Beliau lalu duduk dengan posisi meditasi, mengambang di udara di tengah-tengah Sungai Rohini. Ketika Raja dari kedua pihak itu melihat Sang Buddha berada di udara, di tengah-tengah Sungai Rohini, dengan segera mereka membuang senjatanya dan langsung bernamaskara pada Sang Buddha, diikuti oleh seluruh bala tentaranya.

Sang Buddha bertanya :
"Apa yang kalian pertengkarkan, O Raja Mulia?"
"Kami tidak tahu, Yang Mulia."
"Siapa yang tahu?"
"Pemimpin tentara mungkin tahu."
Pemimpin tentara kemudian berkata :
"Raja Muda mungkin tahu."

Sang Buddha bertanya pada pimpinan dari kedua pihak itu, satu demi satu, akhirnya sampailah kepada pekerja harian. Pekerja harian itu menjawab :
"Pertengkaran ini hanya karena air sungai Rohini, Yang Mulia."
Kemudian Sang Buddha bertanya pada kedua Raja itu :
"Berapakah nilai air sungai itu, Raja Mulia?"
"Sangat kecil nilainya, Yang Mulia."
"Berapa besarkah nilai Khattiya (Negeri) ini, Raja Mulia?"
"Khattiya ini tidak ternilai, Yang Mulia."
"Bukanlah hal yang baik dan pantas apabila hanya karena air yang sedikit ini kalian menghancurkan Khattiya yang tidak ternilai ini."

Kedua pihak itu diam seribu bahasa. Sang Buddha berkata lagi :
"O, Raja Mulia, mengapa kalian bertindak seperti ini? Apabila saya tidak ada di sini sekarang, kalian akan bertempur, membuat sungai ini berlimbah darah. Kalian tidak pantas bertindak demikian. Kalian hidup bermusuhan, menuruti hati yang diliputi lima jenis nafsu kebencian. Saya hidup bebas dari kebencian. Kalian hidup menderita karena sakit yang disebabkan oleh nafsu kejahatan. Saya hidup bebas dari penyakit. Kalian hidup dipenuhi keinginan, dengan memuaskan lima jenis hawa nafsu keserakahan. Saya hidup bebas dari segala nafsu keserakahan." Setelah bersabda demikian, Sang Buddha mengucapkan syair-syair ini :

"Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci, di antara orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci."
(Dhammapada, Sukha Vagga no. 1)

"Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa penyakit di antara orang-orang yang berpenyakit, di antara orang-orang yang berpenyakit kita hidup tanpa penyakit."
(Dhammapada, Sukha Vagga no. 2)

"Sungguh bahagia kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah, di antara orang-orang yang serakah kita hidup tanpa keserakahan."
(Dhammapada, Sukha Vagga no. 3)

Setelah mendengar sabda-sabda Sang Buddha, kedua belah pihak merasa malu dengan apa yang mereka lakukan. Akhirnya kedua sanak keluarga itu berdamai, membagi air Sungai Rohini itu dengan adil, untuk mengairi ladang kedua belah pihak. Mereka lalu hidup berdampingan dengan damai, karena kebencian dan iri hati sudah lenyap dari hati mereka.
Read rest of entry

Friday, April 30, 2010

Kisagotami Theri (Sang Buddhamenghidupkan orang mati)



Kisagotami adalah putri seorang  kaya dari Savatthi, ia dikenal sebagai Kisagotami karena ia memiliki tubuh yang langsing. Kisagotami menikah dengan seorang pemuda kaya dan memiliki seorang anak laki-laki. Suatu hari anak laki tersebut baru saja belajar berjalan dihalaman rumahnya, tiba-tiba terdengar suara jeritan anak kecil, Kisagotami berlari mendekati anaknya dan disekitar tubuh anaknya itu terdapat seekor ular hitam kecil yang telah mengigit urat nadi anaknya tersebut, dan anak laki-laki itu meninggal dunia seketika itu juga. 
 
Kisagotami merasa sangat sedih, dengan membawa mayat anaknya ia pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan anaknya kembali dari setiap orang yang ditemuinya. Orang-orang mulai berpikir bahwa dia telah menjadi gila. Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan dan berkata kepadanya, “Sang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi. Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadanya!” Kemudian Kisagotami pergi menemui Sang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya.

Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segengam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Lalu berangkatlah Kisagotami dengan hati yang gembira dengan membawa anaknya yang telah meninggal itu didadanya. Kisagotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada. Setiap orang yang ditemuinya dengan suka rela memberikan kepadanya segengam biji lada tetapi ketika Kisagotami menanyakan apakah mereka pernah mengalami kematian pada sanak keluarganya, mereka semua mengatakan pernah ada kematian pada sanak keluarga mereka. Ada yang mengatakan bahwa anaknya baru seminggu meninggal dunia, ayahnya atau suaminya baru meninggal sebulan yang lalu.

Jawaban itu sungguh sangat mengecewakan hati Kisagotami, kemudian dia pulang kembali menuju vihara dimana Sang Buddha berada. Lalu tiba-tiba Kisagotami menyadari bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah menghadapi kematian, terdapat lebih banyak orang yang meninggal dunia dari pada yang hidup. Tak lama setelah mendari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia itu berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anak yang sangat dicintainya itu.

 Kisagotami lalu meninggalkan mayat anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha serta memberitahukan bahwa ita tidak dapat meneukan tumah keluarga di mana kematian belum pernah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua mahluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya” mendengar hal ini, Kisagotami benar-benar menyadari ketidak kekalan, ketidak puasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khanda) dan saat itu juga dia mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Tak lama kemudian Kisagotami menjadi seorang bhikkhuni.pada suatu hari, ketika ia edang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul tenggelamnya kehidupan mahluk. Sang Buddha melalui kemampuan batin luar biasanya, melihat dari vihara Jetavana, dan mengirimkan seberkas sinar serta memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidakkekalan dari kehidupan mahluk dan berjuang keras untuk merealisasikan nibbana. Lalu Kisagotami mencapai tingkat kesucian arahat setelah kotbah Dhamma dari Sang Buddhaitu berakhir.
 
Walaupun seorang hidup seratus tahun tetapi tidak dapat melihat keadaan tanpa kematian (nibbana),sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari pada orang dapat melihat kehidupan tanpa kematian”
 (Dhammapada 114)
Read rest of entry

Anathapindika - Seorang hartawan yang menjadi miskin


Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan dengan biaya lima puluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha. Dia pergi ke vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia amembawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa.
 
Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapana, bathinnya tidak tergucang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana.

Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata: “Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga menjadi kaya kembali.”

Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat kesucian sotapanna, mahluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia pun pergi meninggalkan rumah tersebut, dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada Anathapindika jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.

Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, “Ada kira-kira delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedangan yang belum dikembalikan kepada Anathapindika; delapan belas crores lainnya disembunyikannya oleh lelulur (nenek moyang) Anathapindika, dan lainnya yang buka milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua kekayaan ini dengan kemampuan bathin luar biasamu, penuhilah ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu boleh meminta maaf padanya.”
 
Mahluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya. Ketika mahluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari dalam bumi, dari dasar samudera, dan dari peminjam-peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum kemudian Anathapindika membawa mahluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha.
              
Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata, “Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akubat dari perbuatan jahat untuk selamanya; tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang.” Mahluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah mendengar kotbah Dhamma tersebut berakhir.

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnyabelum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.

Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah peerbuatan bajiknya belum masak’ tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak; ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik
(Dhammapada 119 & 120

Read rest of entry

Berani Mencoba

Alkisah, seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya.
"Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31,104,000 kali selama setahun?"
"Ha?," kata jam terperanjat, "Mana sanggup saya?"
 
"Bagaimana kalau 86,400 kali dalam sehari?"
"Delapan puluh ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?" jawab jam penuh keraguan.
 
"Bagaimana kalau 3,600 kali dalam satu jam?"
"Dalam satu jam harus berdetak 3,600 kali? Banyak sekali itu" tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya
 
Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada si jam, "Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?"
"Naaaa, kalau begitu, aku sanggup!" kata jam dengan penuh antusias.
 
 
Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik.
Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti.
 
Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31,104,000 kali
 
Renungan :
Ada kalanya kita ragu-ragu dengan segala tugas pekerjaan yang begitu terasa berat. Namun sebenarnya kalau kita sudah menjalankannya, kita teryata mampu. Bahkan yang semula kita anggap impossible untuk dilakukan sekalipun. Jangan berkata "tidak" sebelum Anda pernah mencobanya
 
Kata Bijak :
Ada yang mengukur hidup mereka dari hari dan tahun, yang lain dengan denyut jantung, gairah, dan air mata. Tetapi ukuran sejati di bawah mentari adalah apa yang telah engkau lakukan dalam hidup ini untuk orang lain.
Read rest of entry

Piring Kayu & Gelas Bambu

Seorang lelaki tua yang baru ditinggal mati isterinya tinggal bersama anaknya, Arwan dan menantu perempuannya, Rina, serta cucunya, Viva yang baru berusia enam tahun. Tangan lelakitua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih.

Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Sebenarnya dia merasa malu seperti itu di depan anak menantu, tetapi dia gagal menahannya.  Oleh karena kerap sekali dilirik menantu, selera makannyapun hilang.  Dan tatkala dia memegang gelas minuman, pegangannya terlepas. Praaaaaannnnngggggg!!  Bertaburanlah serpihan gelas di lantai dan minuman itu tumpah membasahi taplak.

Pak tua menjadi serba salah. Dia bangun, mencoba memungut serpihan gelas itu, tapi Arwan melarangnya.  Rina cemberut, mukanya masam. Viva merasa kasihan melihat kakeknya, tapi dia hanya dapat melihat untuk kemudian meneruskan makannya.

Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. "Kita harus lakukan sesuatu,  ujar sang istri. "Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini."

"Esok ayah tak boleh makan bersama kita," Viva mendengar ibunya berkata pada kakeknya, ketika kakeknya beranjak masuk ke dalam kamar. Arwan hanya membisu. Sempat anak kecil itu memandang tajam ke dalam mata ayahnya.

Demi memenuhi tuntutan Rina, Arwan membelikan sebuah meja kecil yang rendah, lalu diletakkan di sudut ruang makan. Di situlah ayahnya menikmati hidangan sendirian, sedangkan anak menantunya makan di meja makan. Karena sering memecahkan piring,keduanya juga memberikan piring kayu & gelas bambu untuk si kakek.  Viva juga dilarang apabila dia merengek ingin makan bersama kakeknya.

Air mata lelaki tua meleleh mengenang nasibnya diperlakukan demikian. Ketika itu dia teringat kampung halaman yang ditinggalkan.  Dia terkenang arwah isterinya. Lalu perlahan-lahan dia berbisik: "buruk benar perlakuan anak kita ."

Sejak itu, lelaki tua merasa tidak betah tinggal di situ. Sering saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.

Suatu malam, Viva terperanjat melihat kakeknya makan menggunakan piring kayu, begitu juga gelas minuman yang dibuat dari bambu.  Dia mencoba mengingat-ingat, di manakah dia pernah melihat piring seperti itu. "Oh! Ya..." bisiknya. Viva teringat, semasa berkunjung ke rumah sahabat papanya dia melihat tuan rumah itu memberi makan kucing-kucing mereka menggunakan piring yang sama!

"Tak akan ada lagi yang pecah, kalau tidak begitu, nanti habis piring dan mangkuk ibu," kata Rina apabila anaknya bertanya.

Seminggu kemudian, sewaktu pulang bekerja, Arwan dan Rina terperanjat melihat anak mereka sedang bermain dengan kepingan-kepingan kayu.  Viva seperti sedang membuat sesuatu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. "Kamu sedang membuat apa?". Anaknya menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan." Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Begitu mendengar jawaban anaknya, Arwan terkejut.  Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Perasaan Rina terusik. Kelopak mata kedua-duanya basah.  Jawaban Viva menusuk seluruh jantung, terasa seperti diiiris pisau. Mereka tersentak, Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki, selama ini mereka telah berbuat salah !

Malam itu Arwan menuntun tangan ayahnya ke meja makan.  Rina menyendokkan nasi dan menuangkan minuman ke dalam gelas.  Nasi yang tumpah tidak dihiraukan lagi.

Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.


MORAL OF THE STORY -

Teman, anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan.

Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap "bangunan jiwa" yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak.

Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan kita, untuk semuanya. Sebab, untuk mereka lah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.
Read rest of entry

Thursday, April 29, 2010

Kuda Hebat Yang Mengetahui (Keberanian)



Dahulu kala, Raja Brahmadatta memerintah di Benares, sebelah Utara India. Ia mempunyai seekor kuda yang dulunya dilahirkan didaerah Sindh, di desa Sungai Indus, sebelah Barat India. Sebenarnya, kuda ini adalah makhluk yang akan mencapai penerangan (Bodhisatta).

Selain besar dan kuat, kuda tersebut juga sangat pintar dan bijaksana. Ketika ia masih muda, orang-orang menyadari bahwa kelihatannya kuda ini tahu apa yang diinginkan oleh pengendaranya bahkan sebelum diberitahu. Jadi ia dinamai kuda Yang-Tahu.

Ia dianggap sebagai kuda terbaik di antara kuda-kuda kerajaan yang lain, dan diberikan apapun yang berbaik. Kandangnya selalu dihiasi dan dijaga agar bersih dan indah. Kuda biasannya patuh kepada majikannya. Yang-Tahu sangatlah setia terutama kepada raja yang telah merawatnya dengan begitu baik. Di antara semua kuda kerajaan Yang-Tahu juga adalah yang paling berani. Jadi raja pun menghormatinya bersenjatanya dan mempercayainya.

Diceritakan bahwa 7 kerajaan tetangga bergabung berama untuk berperang melawan Raja Brahmadatta. Tiap raja membawa 4 pasukan beruang - pasukan gajah, kuda, barisan kereta, dan tentara-tentara dan Bersama-sama, ketujuh raja tersebut dengan semua angkatan bersenjatanya mengepung kota Benares.

Raja Brahmadatta mengumpulkan semua menteri dan penasehatnya untuk membuat rencana mempertahankan
kerajaan. Mereka menasehati raja tersebut, "jangan menyerah, Kita harus berjuang untuk mempertahankan posisi kita,. Tetapi anda tidak seharusnya membahayakan orang-orang kerajaan dahulu. Sebaliknya kirimkanlah juara diantara para ksatria untuk menggantikan anda di medan laga. Jika ia gagal, barulah anda sendiri yang harus maju".

Jadi Sang raja memanggil juara dari semua ksatria dan bertanya, "Dapatkah anda menang melawan ke-7 raja
ini?" Ksatria itu memjawab, "Jika anda mengizinkan saya untuk menaiki kuda yang terberani dan paling bijaksana, kuda hebat Yang-Tahu, hanya dengan begitu aku dapat memenangkan pertempuran". Raja itu setuju dan berkata, "Juaraku, sekarang tergantung pada anda dan Yang-Tahu untuk menyelamatkan negara yang saat ini sedang dalam bahaya. Bawalah bersamamu apapun yang kauperlukan".

Ksatria juara itu pergi ke kandang kerajaan. Ia memerintahkan agar Yang-Tahu diberi makan dengan baik dan dipasangkan baju perlindungan, dengan semua pernik yang diperlukan. Kemudian ia menghormati dan menaiki sadel yang indah tersebut.Yang-Tahu mengetahui apa yang sedang terjadi. Ia berpikir, "Ketujuh raja ini telah datang untuk menyerang negara dan rajaku, yang telah memberikan makanan, memperhatikan, serta mempercayaiku. Tidak hanya ketujuh raja itu, tetapi juga rombongan tentara mereka yang besar dan kuat mengancam rajaku dan semua penduduk Benares. Aku tidak dapat membiarkan mereka menang. Tetapi aku juga tidak dapat membiarkan ksatria juara ini membunuh raja-raja itu. Karena jikalau demikian maka aku akan ikut membuat tindakan yang salah karena mengambil nyawa makhluk lain, hanya demi satu kemenangan biasa. Maka sebaliknya, aku akan mengajarkan cara yang baru. Aku akan menangkap ketujuh raja tersebut tanpa membunuh siapapun. Ini baru akan merupakan kemenangan yang benar-benar hebat!"

Kemudian yang-Tahu berbicara kepada pengendaranya."Tuan ksatria, marilah kita memenangkan peperangan ini dengan cara yang baru, tanpa menghancurkan kehidupan. Anda harus hanya menangkap satu raja dalam satu kesempatan, dan tetap kokoh berada di punggungku. Biarkanlah saya menemukan strategi di antara setiap pasukan. Perhatikanlah saya sembari anda menunggang, dan saya akan menunjukkan kepada anda keberanian yang melebihi cara yang lama, cara pembunuhan!"

Dengan mengatakan 'cara baru' dan 'strategi yang baru', dan 'keberanian yang melewati', tampaknya hewan yang mulia itu menjadi lebih hebat daripada kehidupan. Ia maju dengan gagahnya dengan kaki-kakinya yang kuat, dan melihat ke bawah menuju semua pasukan yang mengepung kota itu. Semua mata tertuju kepada makhluk yang luar biasa ini. Bumi bergetar sesaat setelah kaki-kaki depannya menginjak tanah dan ia meleset ke dalam kumpulan empat pasukan dari raja yang pertama. Ia mempunyai kecepatan bagai kilat, kekuatan 100 gajah, dan keyakinan diri yang hebat bagaikan seorang dari dunia yang lain.

Gajah-gajah tersebut tidak dapat mengingat ada kuda lain yang seperti itu, jadi pasukan gajah itu mundur ketakutan. Kuda-kuda yang lain tahu bahwa makhluk yang satu ini adalah saudara serumpun yang patut menjadi tuan mereka, jadi pasukan kuda dan kereta tersebut tegak berdiam dan menunduk hormat sewaktu Makhluk yang hebat itu lewat. Dan para pasukan yang berbaris terdepan bagaikan ditimpa angin ribut.

Raja yang pertama tidak sempat menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu ia telah tertangkap dengan mudah dan dibawa kembali ke kota Benares. Demikian juga dengan raja kedua, ketiga, keempat dan kelima.

Dengan cara yang sama raja keenam ditankap. Tetapi salah satu prajuritnya yang setia keluar dari tempat persembunyian dan menusukkan pedangnya dalam-dalam pada sisi badan Yang-Tahu yang berani itu. Dengan darah mengalir dari luka tersebut, ia membawa raja keenam dan prajurit tersebut kembali ke kota.

Ketika ksatria penunggang Yang-Tahu mengetahui luka yang berat tersebut, tiba-tiba ia merasa takut untuk menunggang kembali yang-Tahu untuk menghadapi raja ketujuh. Jadi ia mulai mengenakan perlengkapan perang bagi kuda yang lain, yang memang berbadan hampir sebesar Yang-Tahu.

Melihat hal ini, meskipun sangat menderita dari lukannya yang mematikan, Yang-Tahu berpikir, "Ksatria juara ini kehilangan keberaniannya begitu cepat. Ia belum mengerti benar sifat alami kekuatanku - pengetahuan bahwa kedamaian yang sesungguhnya hanyalah dapat dimenangkan dengan cara yang damai. Ia mencoba untuk mengalahkan raja ketujuh berserta pasukannya dengan cara seperti lazimnya, mengendarai kuda biasa.

"Setelah mengambil langkah pertama, tidak lagi membunuh makhluk hidup, aku tidak dapat lagi berhenti setengah jalan. Usahaku yang keras untuk mengajarkan cara yang baru akan hilang bagaikan garis yang dibuat
di atas air!"

Kuda hebat Yang-Tahu berbicara kepada ksatria tersebut. "Tuan ksatria, raja ketujuh dan pasukannya adalah yang paling kuat di antara yang lainnya. Mengendarai kuda biasa, meskipun anda membunuh 1000 orang dan binatang, anda akan dikalahkan. Aku adalah satu anggota dari rumpun kuda Sindh terhebat yang disebut Yang-Tahu, hanyalah aku yang dapat melewati mereka tanpa melukai siapapun dan membawa raja yang ketujuh kembali dengan hidup-hidup!"

Ksatria tersebut mendapatkan kembali keberaniannya.Kuda yang berani itu kembali tegak berdiri dengan rasa
sakit yang menderanya. Meskipun darah terus saja mengalir, ia tetap melesat kedepan dan menembus kumpulan 4 kelompok serdadu, dan ksatria itu berhasil membawa raja ketujuh tersebut. Sekali lari semua jalan yang dilaluinya tanpa pertumpahan darah dan luka. Melihat ketujuh raja telah tertangkap, semua pasukan
meletakkan senjata mereka dan meminta perdamaian.

Menyadari bahwa kuda yang-Tahu tidak akan dapat hidup melewati malam itu, Raja Brahmadatta pergi menjenguknya. Ia telah membesarkan kuda itu sejak kuda ini masih muda, jadi ia mencintainya. Ketika ia melihat bahwa kuda itu telah sekarat, ia pun menangis.

Yang-Tahu berkata, "Tuanku raja, aku telah melayani tuan dengan baik. Dan aku telah dapat meninggalkan cara yang lama dan menunjukkan cara yang baru. Sekarang anda harus mengabuli permintaan terakhirku. Anda tidak boleh membunuh ketujuh raja tersebut, meskipun mereka telah berbuat salah terhadap anda. Karena kemenangan berdarah akan membawa bibit perang di masa depan. Maafkanlah serangan mereka terhadap anda, biarlah mereka kembali menuju kerajaan mereka masing-masing, dan semoga anda selalu hidup dalam perdamaian mulai dari sekarang".

"Hadiah apapun yang akan anda berikan kepada saya, sebaliknya berikanlah kepada ksatria juara. Berbuatlah hanya hal-hal yang baik, bermurah hatilah, hormatilah Kebenaran dan janganlah membunuh makhluk hidup apapun. Memerintahlah dengan adil dan penuh kasih sayang".

Kemudian ia menutup mata dan menghembuskan nafas terakhirnya. Raja tersebut menangis, dan semua berduka atas kematian Yang-Tahu. Dengan penghormatan yang sebesar-besarnya mereka mengkremasikan tubuh Yang-Tahu - Makhluk yang akan mencapai Penerangan (Bodhisatta)

Raja Brahmadatta kemudian membawa ketujuh raja tersebut kehadapan Yang-Tahu. Mereka juga menghormati Makhluk yang hebat ini, yang telah mengalahkan begitu banyak serdadu tanpa menghamburkan setetes darah pun, kecuali darahnya sendiri. Kemudian, mereka membuat perdamaian dan tidak pernah lagi berperang.

PESAN YANG ADA:

Kedamaian yang sebenarnya hanyalah dapat dimenangkan dengan cara yang damai.


Sumber : BBCID Online
Read rest of entry

Setan Di Padang Pasir (Cara Berpikir Yang Benar)


Setan Di Padang Pasir (Cara Berpikir Yang Benar)


Dahulu kala ada dua orang pedagang yang berteman. Keduanya sedang sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan dagang, jadi mereka harus memutuskan apakah mereka akan mengadakan perjalanan bersama atau tidak. Mereka berdua kemudian akan mengadakan perjalanan bersama atau tidak. Mereka berdua kemudian menyetujui bahwa jalan yang akan mereka tempuh akan terlalu padat apabila dilalui bersama-sama, karena tiap rombongan akan membawa 500 kereta.

Pedagang yang pertama berpikir untuk berjalan terlebih dahulu, kerana ia berpikir, "Kalau aku duluaan, jalan tersebut masih mulus belum rusak karena kereta-kereta yang lain, dan juga sapi-sapiku akan bisa memilih memakan rumput yang terbaik, kami akan mendapatkan semua buah-buahan dan sayuran untuk dimakan, rombonganku akan menghargai kepemimpinanku, dan pada akhirnya aku akan mampu menawarkan harga yang
tertinggi".

Pedagang yang kedua berpikir dengan hati-hati dan menyadari bahwa akan ada banyak keuntungan baginya apabila ia berangkat setelah rombongan yang pertama. Ia berpikir, "Rombongan kereta temanku akan meratakan
dan memudahkan jalan yang akan kulalui sehingga kami tidak akan menemukan kesulitan, sapi-sapinya akan memakan rumput-rumput yang telah tua, dan tunas-tunas lembut yang baru akn tumbuh untuk dimakan oleh sapi-sapiku. Demikian juga, mereka akan memetik buah-buahan dan sayur-sayuran yang telah tua, dan yang segar akan tumbuh untuk membiarkan teman yang pertama untuk melakukan perjalanan terlebih dahulu. Teman
tersebut akan ia telah berhasil menipu pedagang yang kedua - Jadi ia berangkat terlebih dahulu.

Pedagang yang berangkat terlebih dahulu mengalami saat yang sulit. Mereka sampai pada apa yang disebut 'Gurun Tidak Berair', yang kata orang setempat, didiami oleh setan-setan. Ketika rombongan tersebut sampai ditengah-tengah gurun tersebut, mereka bertemu dengan rombongan lain yang datang dari arah yang berlawanan.
Kereta dari rombongan tersebut penuh dengan lumpur dan berair. Ada bunga lili putih dan teratai pada tangan mereka dan kereta mereka. Pemimpin rombongan tersebut, yang mempunyai tingkah sik tahu, berkata kepada
pedangan tersebut, "Mengapa anda membawa beban air yang begitu berat? Dalam waktu singkat anda akan mencapai oase dengan banyak air untuk diminum dan tumbuhan untuk dimakan. Sapi anda kelelahan membawa
begitu banyak beban dengan tambahan air. Jadi buang sajalah air tersebut dan dengan begitu anda berbuat baik kepada sapi-sapi tersebut!"

Meskipun telah diperingati oleh penduduk daerah itu, pedagang tersebut tidak menyadari bahwa rombongan yagn
ditemuinya itu bukanlah orang biasa, tetapi setan yang sedang menyamar. Mereka bahkan berada dalam bahaya
karena mungkin akan dimangsa oleh setan-setan tersebut. Merasa yakin akan saran yang diberikan, pedagang tersebut menurut dan membuang semua persediaan airnya.

Setelah mereka melanjutkan perjalanan, mereka tidak menemukan oase atau air sama sekali. Sebagian menyadari bahwa mereka telah ditipu oleh makhluk yang kemungkinan adalah setan tersebut, dan mereka mulai menggerutu dan menyalahkan pedagang tersebut. Pada akhirnya mereka kelelahan. Sapi-sapi tersebut terlalu lelah untuk menarik beban karean kehausan. Semua orang dalam rombongan serta sapi-sapi menggeletak kelelahan dan jatuh tertidur. Begitulah terjadi, malam tiba dan setan-setan itu muncul dalam bentuk aslinya dan memangsa semua makhluk lemah tersebut. Ketika mereka telah selesai, yang tertinggal berserakan hanyalah tulang-belulang - tidak ada manusia ataupun hewan yang masih hidup.

Setelah beberapa bulan, pedagang yang kedua memulai perjalanan yang melalui rute yang sama. Ketika ia telah tiba di padang belantara, ia mengumpulkan semua pengikutnya, dan menasehati mereka - "Tempat ini disebut 'Gurun Tidak Berair' dan saya telah mendengar bahwa tempat ini didiami oleh setan dan jejadian. Karena itu kita harus berhati-hati. Karena mungkin akan ada tumbuhan beracun dan air yang telah tercemar. Jangan minum air yang ada tanpa bertanya terlebih dahulu padaku". Dengan nasehat ini mereka memulai perjalanan memasuki gurun.

Setelah kira-kira setengah perjalanan, dengan cara yagn sama seperti rombongan yang pertama, mereka bertemu dengan rombongan setan yang sedang menyamar. Mereka mengatakan kepada rombongan pedagang tersebut bahwa oase telah dekat dan meminta mereka untuk membuang semua persediaan air mereka. Tetapi pedagang yang bijaksana ini dapat mengetahui mereka dengan lansung, dan tahu bahwa hal itu tidak masuk akal. Mana mungkin ada oase di gurun yang bernama 'Gurun Tanpa Air". Apabila orang-orang tersebut mempunyai mata yang melotot dan merah, serta tingkah laku yang agresif dan memaksa, jadi ia curiga bahwa mereka mungkin adalah setan. Ia menyuruh mereka untuk minggir dan berkata, "Kami adalah pedagang yang tidak akan membuang air yang baik sebelum kami tahu ada penggantinya".

Kemudian, melihat bahwa banyak pengikutnya yang menjadi ragu, pedagang itu berkata kepada anak buahnya, "Jangan percaya pada orang-orang ini, yang mungkin saja adalah setan, sampai kita benar-benar menemukan air. Oase yang mereka sebutkan mungkin hanyalah khayalan. Sudah pernahkah kita mendenga rada air di "Gurun Tan Air" ini? Apakah kalian merasa angin hujan atau melihat mendung?". Mereka semua mengatakan "Tidak". Kemudian ia meneruskan. "Jika kita mempercayai orang-orang ini dan membuang persediaan air kita, maka mungkin nantinya kita tidak akan mempunyai air untuk minum dan memasak - kemudian kita akan menjadi lemah dan haus - dan mudah bagi mereka, setan-setan itu untuk datang dan merampok kita, atau bahkan memangsa kita! Karena itu, sampai kita benar-benar menemukan air, jangan membuangnya bahkan setetespun!"

Rombongan itu meneruskan perjalanan, dan sore itu mereka sampai pada tempat di mana rombongan yang pertama dibunuh dan dimangsa oleh setan-setan tersebut. Mereka mengenali bahwa kereta-kereta yang sarat dengan muatan serta tulang-tulang yang berserakan itu adalah sisa dari rombongan yang pertama. Pedangan yang bijaksana itu memberitahu kepada beberapa orang untuk berjaga-jaga di sekitar kemah pada malam hari.

Keesokan harinya setelah sarapan, dan memberi makan sapi-sapi mereka yang baik, rombongan tersebut meneruskan perjalanan. Mereka menambahkan barang-barang berharga dari kereta rombongan yang pertama ke dalam kereta mereka. Mereka menyelesaikan perjalanan tersebut dengan aman dan sukses, dan kembali ke rumah dengan selamat pula sehingga untuk semua anggota keluarga mereka dapat menikmati keuntungan yang mereka peroleh.

PESAN YANG ADA:
Seseorang harus selalu menjadi cukup bijaksana untuk tidak tertipu oleh perkataan yang licik dan penampilan yang palsu.

Sumber : BBCID Online
Read rest of entry

Kisah Seekor Kelinci yang suka beramal


KISAH SEEKOR KELINCI YANG SUKA BERAMAL

Dahulu kala Sang Bodhisattva dilahirkan kembali sebagai seekor kelinci. Tempat tinggalnya di dalam rimba raya yang penuh dengan pohon-pohon yang rindang dan daun-daunnya yang berwarna hijau sepanjang masa. Rumahnya di dalam lubang kecil di tepi sungai. Karena tabiatnya yang halus dan peramah, maka semua penghuni hutan itu menjadi sahabatnya. Oleh karenanya ia merasa sangat bahagia. Tambahan lagi ia mempunyai tiga sahabat yang sangat akrab, yaitu seekor anjing air, seekor serigala dan seekor kera. Mereka merupakan empat serangkai yang tidak terpisahkan dan selalu bersama-sama. Seperti kata pepatah “Ringan sama dijinjing berat sama dipikul”.

Tidak ada satupun di antara kawan-kawannya yang mengira, bahwa kelinci itu bukanlah kelinci yang biasa. Mengapa demikian? Ya, karena kelinci itu demikian sederhananya, dan tingkah lakunya pun tidak berbeda dengan binatang-binatang yang lain.

Tetapi kita tau, bahwa kelinci itu adalah penjelmaan dari Buddha yang akan datang. Sebab itu ia memiliki sifat-sifat yang luhur. Dan keluhuran budinya itu ditunjukkannya dengan sederhana sekali. Tetapi yang terpenting baginya ialah menjalankan kebajikan beramal. Pada tiap-tiap kesempatan ia selalu menganjurkan supaya kawan-kawannya berbuat amal.

Karena sangat rajin selalu menganjurkan berbuat amal, maka kelinci itu sangat menarik perhatian binatang-binatang lain. Hal ini sampai pula terdengar di khayangan, tempat tinggal para dewa, terutama dewa Cakra , yang memerintah semua dewa-dewa sangat tertarik kepada kelinci itu. Timbullah pertanyaan pada diri Sang Cakra , apakah kelinci itu yakin benar akan apa yang dianjur-anjurkannya tentang kebajikan beramal. Maka tidaklah tertahan lagi keinginannya untuk mengetahui hal itu, lalu dicarinya akal untuk mencoba keyakinan sang kelinci. Dengan maksud itu ia turun dari khayangan dan menjelma menjadi seorang pendeta yang sudah tua usianya. Badannya dibuatnya berkerut dan sengsara seperti orang yang banyak menderita, miskin dan lapar. Demikian pendeta itu sampai di hutan tempat tinggal kelinci. Tidak jauh dari rumah kelinci, ia merebahkan diri dan merintih-rintih minta tolong.

Seperti telah diterangkan di atas, kelinci itu selalu bersama dengan kawan-kawannya. Demikian juga sekarang. Ketika mereka mendengar suara orang merintih minta tolong, berlari-larilah keempat binatang itu menuju tempat datangnya suara. Dan apakah yang mereka lihat? Seorang pendeta yang sudah tua, badannya kurus kering dan kepayahan.

Ibalah hati keempat binatang itu melihat kesengsaraan orang tua, apalagi seorang pendeta yang suci. Bertambah terharu mereka melihat sang pendeta hamper meninggal karena sangat lapar dan dahaga. ‘Tunggulah,’ kata mereka, “ Kami akan mencarikam makanan dan minuman. ‘ Ya, memang demikianlah, mereka harus mencari dahulu jika hendak makan dan minum. Anak-anak tentu mengerti juga, bahwa binatang-binatang hutan itu tidak mempunyai apa-apa dirumahnya. Mereka harus mencari makanan di mana-mana. Dan di mana saja terdapat makanan, disitulah mereka makan sampai kenyang.

Demikianlah, maka tidak lama kemudian si anjing air kembali dengan membawa tujuh ekor ikan. Ikan-ikan diberikannya semua kepada sang pendeta. Kemudian datanglah serigala membawa seekor kadal dan sedikit susu asam. Si kera datang pula dengan membawa beberapa buah mangga yang lezat-lezat. Dan akhirnya datanglah kelinci…….

Anak-anak tentu mengira kelinci itu membawa makanan yang enak-enak pula, bukan? Sebab tidakkah dia yang selalu menganjur-anjurkan supaya orang menjalankan amal! Tetapi, apa yang terjadi? Kelinci tidak membawa apa-apa. Satu butir makanan pun tidak ada padanya. Memang hari itu hari sial baginya. Dengan tangan hampa ia berdiri di hadapan orang tua itu. Ia sangat malu, lebih-lebih terhadap kawan-kawannya.

Dalam hati ia berkata,” Ah, Benar-benar binatang tidak berguna aku ini! Aku yang seringkali berbicara tentang kebajikan beramal, tetapi kenyataannya aku tidak mampu memberikan apa-apa kepada orang suci ini. Orang tua yang sangat memerlukan pertolongan dengan segera! Satu-satunya yang dapat kuamalkan kepadanya hanyalah badanku sendiri. Dan ini harus kulakukan!”

Karena pendeta itu sebenarnya adalah dewa Cakra, maka ia dapat mengetahui pikiran orang lain. Oleh karena itu mengertilah ia akan maksud kelinci itu. Tetapi sebagai pendeta ia dilarang membunuh makhluk. Sekarang yang perlu diketahui ialah, apakah kelinci itu benar-benar menyerahkan badannya sebagai makanan? Dikumpulkannya beberapa batang kayu dan dibakarnya. Kemudian dengan diam ia memandang kepada kelinci. Dengan tidak berpikir panjang lagi kelinci itu meloncat ke dalam api yang menyala-nyala. Dan matilah ia dengan ikhlas dan bahagia, dengan keyakinan, bahwa perkataan-perkataannya tentang amal telah dibuktikannya dengan perbuatan.

Dan untuk memperingati perbuatan kelinci yang penuh dengan keikhlasan dalam menjalankan amalnya, maka dewa Cakra menganugerahi kepadanya keputusan untuk menghias menara istana-istana para dewa. Dan anak-anak pun bisa melihatnya di bulan purnama.



Dari Buku : Kumpulan Cerita Buddha
Penerbit Dian Dharma
__________________
Read rest of entry

Kambing Yang Menyelamatkan Pendeta (Kebodohan)


Kambing Yang Menyelamatkan Pendeta (Kebodohan)


Dahulu kala, hiduplah seorang pendeta yang sangat
terkenal. Ia memutuskan bahwa hari ini adalah hari yang tepat untuk mengadakan persembahan ritual dengan menyembelih kambing. Dalam kebodohan, ia berpikir bahwa ia adalah persembahan yang diinginkan oleh dewanya. Maka ia mencari kambing yang pantas untuk dipersembahkan. Ia meminta pembantunya untuk membawa kambing tersebut ke sungai suci dan memandikannya serta kemudian menghiasainya dengan kalungan bunga. Kemudian para pembantu itu sendiri diminta untuk membersihkan diri sebagai bagian dari latihan penyucian. Di tepi sungai, kambing itu tiba-tiba menyadaru bahwa hari itu pasti akan terbunuh, ia juga menyadari tentang kelahiran-kelahiran dan kematian-kematiannya yang lampau dan juga kelahiran-kelahiran kembalinya yang lampau. Ia menyadari bahwa akibat dan perbuatan yang tidak benar di masa yang lampau akan segera selesai.

Jadi ia mengeluarkan bunyi tawa yang nyaring,
seperti suara simbal. Ditengah tawa tersebut, ia menyadari suatu kebenaran yang lain - bahwa pendeta itu, dengan melakukan persembahan korban, ia akan mengalami penderitaan yang sama mengerikannya, akibat dari kebodohannya. Jadi ia mulai menangis sekeras tawanya! Para pembantu yang saat itu sedang mandi di sungai suci pertama-tama mendengar tawa kemudian tangis. Mereka heran. Maka mereka bertanya kepada kambing itu, "Mengapa kamu tertawa dn kemudian menangis dengan sama kerasnya? Apakah alasannya?" Ia menjawab, "Aku akan memberitahukan alasannya. Tetapi harus di depan tuan kalian, sang pendeta".

Karena mereka sangat penasaran, mereka dengan segera
membawa kambing persembahan itu kehadapan mereka. Mereka menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Pendeta itu sendiri menjadi sangat ingin tahu. Ia dengan hormat bertanya kepada kambing tersebut, "Tuan, mengapa anda tertawa begitu keras, dan menangis sama kerasnya?" Kambing itu, mengingat kehidupannya yang lalu, berkata "Dahulu kala, aku dulu adalah seorang pendeta juga, seperti anda yang terdidik dengan baik mengenai ucapan keagamaan. Saat itu aku juga mengira bahwa menpersembahkan seekor kambing bagi dewa juga diperlukan dan bermanfaat bagi orang lain, dan juga diriku sendiri di kelahiran yang akan datang. Akan tetapi sesungguhnya dari tindakanku itu adalah di dalam 499 kehidupanku berikutnya aku harus dipancung!"

"Ketika dipersiapkan untuk dipersembahkan, aku menyadari bahwa hari ini aku pasti akan kehilangan kepalaku untuk yang ke 500 kalinya. Dan akhirnya aku akan terbebas dari semua akibat perbuatanku yang tidak benar dalam kehidupan masa laluku. Sukacita akan hal inilah yang membuatku tertawa tidak terkontrol". "Kemudian tiba-tiba aku menyadari bahwa kamu, pendeta, akan berbuat kesalahan yang sama denganku, dan akan terkutuk dengan akibat yang sama, terpancung kepalaku dalam 500 kali kehidupan yang akan datang! Jadi, karena kasihan dan simpati, tawaku berubah menjadi tangis".

Pendeta itu berkata, "Jangan takut, kambingku yang
baik. Aku akan menyediakan perlindungan yan terbaik bagimu dan secara pribadi menjamin bahwa tidak akan ada celaka yang terjadi padamu". Tetapi kambing itu berkata. "Oh, pendeta, perlindungan anda sangat lemah dibandingkan dengan kekuatan karma/perbuatanku di masa lampau". Jadi pendeta itu membatalkan persembahan yang akan dilakukannya, dan mulai mempunyai keraguan mengenai pembunuhan binatang yang tidak berdaya. Ia membebaskan kambing itu dan bersama para pembantunya mulai memgikuti kambing itu untuk memberikan perlindungan.

Kambing itu berjalan pergi, hingga tiba pada tempat yang berbatu karang. Ia melihat beberapa pucuk daun muda di suatu cabang dan menjulurkan lehernya untuk mencapai dedaunan tersebut. Tiba-tiba saja ada kilat. Satu sambaran kilat menyambar batu yang tajam, membelahnya dan runtuhan bebatuan yang tama itu tepat memenggal leher kambing itu! Seketika itu juga kambing itu mati, dan kilat itu menghilang. Mendengar kejadian yang sangat aneh itu, beratus-ratus orang datang menuju ke tempat itu. Tidak ada yang dapat mengerti mengapa semua itu dapat terjadi.

Disekitar itu hiduplah seorang peri pohon. Ia telah
melihat semua yang terjadi. Ia menampakkan diri, dengan lembut melayang di udara. Ia mulai mengajarkan kepada orang-orang yang ingin tahu itu dengan berkata, "Lihatlah apa yang terjadi pada kambing yang malang ini. Inilah akibat dari membunuh hewan! Semua makhluk dilahirkan, dan menderita pada waktu sakit, usia tua, dan kematian. Tetapi semuannya ingin hidup, bukan mati. Dengan tidak menyadari bahwa semua mempunyai persamaan seperti itu, beberapa diantaranya membunuh makhluk hidup lainnya. Ini menyebabkan penderitaan bagi si pembunuh, baik pada kehidupan sekarang maupun kehidupan-kehidupan yang akan datang.

"Dengan tidak mengetahui bahwa semua perbuatan akan membawa akibat bagi si pelaku, beberapa dari mereka terus saja membunuh dan menyebabkan lebih banyak lagi penderitaan pada diri mereka sendiri di masa datang. Setiap kali mereka membunuh sebagia dari mereka juga harus mati dalam kehidupan sat ini. Dan penderitaan yang ada berlanjut bahkan sampai dilahirkan di alam neraka!" Mereka yang mendengarkan peri itu berbicara merasa sangat beruntung. Mereka berhenti membunuh karena kebodohan/ketidaktahuan mereka dan hidup dengan lebih baik, baik dalam kehidupan saat ini maupun dalam kelahiran-kelahiran berikutnya.

Sumber : BBCID Online
Read rest of entry